​​​​​​​Deretan Corporate Law Firm Menengah Kenamaan Indonesia 2020
Corporate Law Firms Ranking 2020

​​​​​​​Deretan Corporate Law Firm Menengah Kenamaan Indonesia 2020

​​​​​​​Menjaga kualitas pelayanan dengan ukuran efisien.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
​​​​​​​Deretan Corporate Law Firm Menengah Kenamaan Indonesia 2020
Hukumonline

Corporate Law Firms Ranking 2020 berhasil menghimpun 69 corporate law firm menengah kenamaan Indonesia. Jumlah fee earners terbesar di kategori ini mulai dari paling banyak 21 fee earners dan paling kecil tiga fee earners. Berdasarkan metode pemeringkatan, ada 19 peringkat di kategori ini.

 

Adnan Buyung Nasution & Partners (ABNP) menjadi law firm dari generasi pertama di daftar ini. Hukumonline pernah menelusuri jejaknya dalam liputan khusus Sejarah Kantor Advokat Indonesia.

 

Namun pada survei kali ini Hukumonline mencatat data baru. Firma hukum Markus Sajogo & Associates asal Surabaya, Jawa Timur mengaku telah berdiri sejak tahun 1967. Kedua firma hukum ini lantas menjadi law firm dari generasi 60-an yang berada di daftar Corporate Law Firm Menengah Kenamaan.

 

Baca:

 

Frans Winarta & Partners Law Firm yang berdiri tahun 1981 dan Suria Nataadmadja & Associates tahun 1983 menjadi law firm era 80-an dalam daftar ini. Empat law firm yang berdiri era 90-an dalam daftar Corporate Law Firm Menengah Kenamaan ialah Jusuf Indradewa & Partners tahun 1990, Adams & Co. tahun 1999, Aji Wijaya & Co. tahun 1990, dan Brigitta I. Rahayoe & Partners tahun 1996.

 

Law firm yang lahir di era 2000-an paling banyak memenuhi daftar Corporate Law Firm Menengah Kenamaan. Dua law firm bahkan baru berdiri di tahun 2019 yaitu Siahaan Gea Attorneys at Law dan ADP Counsellors at Law.

 

Hanya 12 firma hukum di daftar ini yang berafiliasi dengan law firm asing atau memiliki advokat asing di kantornya. Tercatat hanya ada empat law firm di luar DKI Jakarta. LexRegis di Tangerang, Banten serta Martin Suryana &  Associates, Markus Sajogo & Associates, dan Kantor Advokat Andrian Febrianto di Jawa Timur.

 

Hukumonline.com

 

Strategi Ukuran Efisien Demi Kualitas

Menjadi law firm ukuran menengah bukan berarti kurang andal. Banyak law firm memilih tidak berukuran besar dengan beragam sebab. Namun biasanya ada satu benang merah: strategi efisiensi demi menjaga kualitas.

 

Managing Partner Oentoeng Suria & Partners (OSP), Ratih Nawangsari menjelaskan pilihan OSP untuk bertahan di ukuran menengah. Memiliki afiliasi dengan Ashurst, law firm asing besar asal Inggris, OSP justru menjadikan ukuran menengah sebagai strategi.

 

“Pernah ada masa ukuran kami besar sekali akibatnya tidak efisien dan banyak keluhan klien. Akhirnya kami pilih ukuran tim efisien agar sustainable,” jelas perempuan yang akrab disapa Ipop ini.

 

Ipop menyebut pilihan OSP sejalan dengan strategi global mitra afiliasi mereka. Pertumbuhan OSP dikendalikan dengan mengacu parameter kualitas. Cara ini juga menjadi daya tawar OSP di tengah kompetisi pasar jasa hukum termasuk dengan big firm.“Tim kami yang tidak besar bisa mengontrol efisiensi dan efektifitas. Harga yang kompetitif dengan anggaran klien dan memuaskan mereka,” ujar Ipop.

 

Ia menceritakan pengalaman OSP dipercaya menangani berbagai transaksi besar oleh perusahaan multinasional.“Size tidak menjamin. Work smart. Transaksi sangat besar atau kecil bisa kami tangani dengan baik. Jadi tidak perlu tim jumbo,” katanya. Meskipun begitu, rencana pertumbuhan jumlah fee earners tetap dibuat jika situasi mendukung. Hanya saja masih tetap dalam strategi ukuran efisien.

 

Dewi Djalal, Managing Partner Dewi Djalal & Partners (DDP) Law Office berbagi cerita serupa meskipun dengan alasan berbeda. “DDP punya visi menjadi law firm yang menanamkan life balance bagi semua personel. Insidental sampai larut malam bisa terjadi tapi jarang,” katanya.

 

Dampaknya adalah DDP memilih jalan efisiensi ukuran dengan segmen pasar spesifik. “Kami memilih menjadi boutique law firm yang sebagian besar kliennya BUMN. Selektif dengan kontrak kerja, agar bekerja tidak overtime,” Dewi menambahkan.

 

Pilihan ini diyakini Dewi cukup realistis di tengah pasar jasa hukum yang makin kompetitif. Apalagi target mereka ingin menjaga kualitas kerja sambil membangun budaya kerja ala DDP tadi. “Jumlah yang makin besar cenderung membuat kami jadi predator, menerima sebanyak mungkin pekerjaan untuk keseimbangan dengan pengeluaran, akhirnya kualitas turun,” ujarnya.

 

Hukumonline.com

(Kolase foto dari kiri) Irawady Azwar (Managing Partner AHRP), Dewi Djalal (Managing Partner Dewi Djalal & Partners), Ratih Nawangsari (Managing Partner Oentoeng Suria & Partners) dan Ike Farida (Managing Partner Farida Law Office)

 

Tak jauh berbeda dengan law firm Azwar Hadisupani Rum & Partners (AHRP). Irawady Azwar, Managing Partner AHRP memilih ukuran efisien menyesuaikan dengan segmen pasar yang jadi sasaran. Strategi ini dipilih sejak AHRP berdiri di tahun 2018. “Yang kami tawarkan solusi hukum dengan kajian mendalam. Bukan commodity work  yang sudah banyak template seperti transaksi atau due dilligence,” kata Azwar.

 

Ia mengaku berhasil memikat segmen pasar premium dengan cara ini. Misalnya beberapa lembaga keuangan negara dan perusahaan besar. Keuntungan yang diperoleh pun diakuinya memuaskan. Efisiensi tim dalam law firm dengan penawaran produk yang tepat ternyata bisa lebih menguntungkan. Lagi-lagi, ukuran menengah justru mempunyai kelebihan tersendiri sebagai strategi.

 

Farida Law Office punya cerita sedikit berbeda. “Kami tidak punya rencana berukuran besar atau menjadi boutique saja. Tapi sejauh ini klien kami hampir semua retainer sejak lama dari perusahaan Jepang,” kata Ike Farida, Managing Partner Farida Law Office.

 

Keahlian Farida dalam bahasa dan budaya Jepang serta pengalaman studi ke Jepang membuatnya menemukan segmen klien perusahaan Jepang. Kenyamanan kliennya membuat Farida berusaha menjaga kepercayaan tersebut.

 

Ternyata klien-klien Farida semakin banyak menyerahkan urusan hukumnya. “Akhirnya dari a sampai z diserahkan ke kami,” ujarnya. Farida pun memilih terus menjaga kualitas dengan rekrutmen fee earners sangat selektif.

 

Tujuannya untuk menjaga kepuasan klien-klien yang sudah lama bertahan. Cara ini juga berhasil membuat klien perusahaan Jepang makin banyak berdatangan. “Hanya perkara korupsi dan narkoba yang tidak kami tangani,” ia menambahkan.

Tags:

Berita Terkait