Dewas KPK Putuskan Dua Penyidik Langgar Kode Etik Terkait Kasus Bansos
Utama

Dewas KPK Putuskan Dua Penyidik Langgar Kode Etik Terkait Kasus Bansos

Keduanya dinilai terbukti melakukan perundungan atau pelecehan kepada saksi Agutri Yogasmara alias Yogas yang merupakan saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap kepada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dari perusahaan penyedia bansos Covid-19.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 6 Menit
Dewas KPK mengadakan jumpa pers terkait dua penyidik KPK yang dinyatakan melanggar kode etik terkait kasus Bansos, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) Jakarta melalui akun Youtube KPK, Senin (12/7).
Dewas KPK mengadakan jumpa pers terkait dua penyidik KPK yang dinyatakan melanggar kode etik terkait kasus Bansos, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) Jakarta melalui akun Youtube KPK, Senin (12/7).

Dewan Pengawas (Dewas) KPK memutuskan dua orang penyidik dalam kasus dugaan penerimaan suap kepada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dari perusahaan penyedia bansos Covid-19 yaitu Mochammad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

"Mengadili menyatakan terperiksa I Mochammad Praswad Nugraha dan terperiksa II Mohammad Nor Prayoga bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa perundungan dan pelecehan terhadap pihak lain di dalam dan di luar lingkungan kerja yang diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 2 tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," kata ketua majelis etik Harjono dalam sidang di Gedung KPK Jakarta, Senin (12/7).

Pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK berbunyi "Dalam pengimplementasikan nilai dasar keadilan setiap Insan Komisi dilarang bertindak sewenang-wenang atau melakukan perundungan dan/atau pelecehan terhadap Insan Komisi atau pihak lain baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja".

Majelis etik yang terdiri dari Harjono, Syamsuddin Haris dan Albertina Ho lalu menjatuhkan hukuman sedang dan ringan kepada keduanya. "Menghukum Terpiksa I dengan sanksi sedang berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama 6 bulan dan terperiksa II dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis 1 dengan masa berlaku hukuman selama 3 bulan," ujar Harjono menegaskan. (Baca: Mengenal Sanksi Etik Dewas KPK)

Keduanya dinilai terbukti melakukan perundungan atau pelecehan kepada saksi Agutri Yogasmara alias Yogas yang merupakan saksi dalam kasus dugaan penerimaan suap kepada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dari perusahaan penyedia bansos Covid-19. Perundungan itu disebut dilakukan saat penggeledahan di rumah Yogas pada 12 Januari 2021 dan pemeriksaan Yogas di gedung KPK pada 13 Januari 2021.

"Para pemeriksa duduk dengan mengangkat kaki, menunjuk-nunjuk saksi Agustri Yogasmara, menunjuk pelipis kepalanya sendiri sambil mengucapkan kata-kata 'mikirrrrr', memegang mobil-mobilan dan menunjukkan kepada saksi Agustri Yogasmara sambil mengucapkan kata-kata 'sini mulutmu gue masukin ini...' pada 12 Januari 2021 dan seolah-olah akan melemparkan sesuatu kepada saksi Agustri Yogasmara pada saat pemeriksaan berlangsung," ungkap Syamsuddin Harris.

Selain itu pada pemeriksaan pada 13 Januari 2021, Agustri Yogasmara juga dikonfrontasi dengan saksi Harry van Sidabukke dengan diminta untuk meletakkan tangan di atas Al Quran. "Hal itu juga merupakan sikap yang tidak patut dan tidak pantas dilakukan oleh seorang penyidik dalam melaksanakan tugas," ucap Syamsuddin.

Dalam sidang pemeriksaan, menurut majelis etik, terperiksa 1 yaitu penyidik Mochamad Praswad Nugraha menyatakan menyadari yang dilakukan pada waktu penggeledahan dan pemeriksaan terhadap Agutri Yogasmara merupakan sikap yang kurang pantas.

"Dalam hal ini terperiksa 1 memohon maaf dan akan menjadi koreksi ke depan. Terperiksa 1 juga memahami kedudukan saksi dalam pemeriksaan mempunyai hak untuk tidak mengaku, namun keterangan saksi Agustri Yogasmara dibutuhkan karena dalam penyidikan bansos yang melibatkan Ihsan Yunus dan Iman Ikram masih terputus," ungkap Syamsuddin.

Majelis etik menilai kata-kata yang diucapkan terperiksa 1 yang ditujukan kepada Agustri Yogasmara termasuk kata-kata kotor yang tidak seharusnya diucapkan oleh insan KPK sehingga Praswad sudah melewati batasan yang dipahami-nya.

"Terperiksa II di persidangan mengatakan memang duduk di rumah Agutris Yogasmara sambil mengangkat kaki, namun dilakukan bukan karena tidak menghargai atau melecehkan saksi dalam hal ini terperiksa memohon maaf dan menjadi pelajaran untuk ke depannya," tambah Syamsuddin.

"Para terperiksa pada waktu proses penggeledahan dan melakukan pemeriksaan di gedung KPK telah mengucap kata-kata dan menunjukkan bahasa tubuh tidak pantas dan termasuk perbuatan yang tercela sehingga menurut pendapat majelis para terperiksa telah melakukan perundungan dan pelecehan terhadap saksi di luar dan dalam lingkungan kerja sehingga dugaan pelanggaran kode etik pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK No 2 tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK terpenuhi," papar Syamsuddin.

Albertina Ho menambahkan putusan sanksi terhadap penyidik KPK tersebut sudah mempertimbangkan semua aspek hukum. Dia juga membandingkan dengan putusan Ketua KPK, Firli Bahuri yang mendapatkan sanksi ringan atas penggunaan helikopter.

“Kenapa ini hukumannya sedang, sedangkan Ketua (Firli) hukumannya ringan. Teman-teman media bisa baca nanti atau mungkin sudah dengar pertimbangan majelis. Setiap putusan ada pertimbangan putusannya kenapa ini sedang dan itu ringan. Etik ini ilmu sosial bukan seperti matematika, semua ada pertimbangan hukumnya,” jelas Albertina.

Menanggapi putusan tersebut, Mochamad Praswad Nugraha menyampaikan bahwa putusan tersebut merupakan serangan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi dan bukanlah hal baru terhadap KPK. Dia menjelaskan laporan terhadap petugas KPK bukan hal baru dan risiko membongkar kasus korupsi paket sembako Bansos dengan anggaran Rp 6,4 triliun, yang dilakukan secara keji di tengah bencana Covid-19.

“Dalam pembacaan putusan terdapat potongan kata-kata kami yang dilepaskan dari konteks kejadian secara keseluruhan. Beberapa potongan yang dilepaskan dari konteks antara lain, yang pertama adalah suasana dan intonasi saat komunikasi tersebut dilakukan. Kemudian, latar belakang dialog yang terjadi 3-4 jam sebelumnya,” jelas Nugraha dalam keterangan persnya. 

Kemudian, dia juga menyampaikan upaya peringatan agar saksi tidak melanggar pasal pemidanaan karena memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan barang bukti lainnya. Peringatan tersebut muncul sebagai upaya kami untuk menghentikan adanya ancaman yang dilakukan oleh Agustri Yogasmara terhadap saksi lainnya, serta teknik-teknik interogasi dalam penyidikan.

Nugraha menegaskan hukuman terhadapnya bukan sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan penderitaan dari para korban bansos, korban PHK, rekan-rekan disabilitas. “Para korban tersebut merupakan rakyat yang dirampas hak-haknya dengan cara melawan hukum dan tidak manusiawi akibat korupsi Bansos Covid-19,” ungkapnya. 

Dia juga berharap agar tidak ada lagi rekan-rekan petugas KPK lainnya pegawai maupun penyidik menjadi korban atas upaya dan perjuangannya membongkar perkara mega korupsi yang ada di Indonesia. “Kami mohon Dewas KPK secara konsisten dapat menjadi lentera keadilan terhadap berbagai dugaan pelanggaran etik serta tindakan koruptif yang benar-benar merusak KPK dan merusak Indonesia,” jelasnya.

Dugaan pelanggaran etik Lili

Dalam kesemptan itu, Anggota Dewas KPK Albertina Ho juga mengatakan pelaporan dugaan pelanggaran etik oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar sudah masuk tahap pemeriksaan pendahuluan. "Sudah masuk ke pemeriksaan pendahuluan sesuai dengan hukum acara yang ada di dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 03 Tahun 2020. Jadi, sudah masuk di tahap pemeriksaan pendahuluan," kata Albertina.

Selain itu, kata dia, Dewas KPK juga sudah mengumpulkan bukti-bukti dan klarifikasi terhadap saksi-saksi.  "Pemeriksaan ini sudah berlangsung, pengumpulan bukti-bukti sudah, klarifikasi sudah dilaksanakan juga," ungkap Albertina.

Ia menjelaskan nantinya dari hasil pemeriksaan pendahuluan akan diputuskan apakah laporan tersebut dilanjutkan ke sidang etik atau tidak. "Nanti hasilnya juga akan disampaikan apakah itu dinyatakan cukup bukti untuk dilanjutkan ke sidang etik atau dinyatakan tidak cukup bukti, itu nanti ada hasil dari pemeriksaan pendahuluan," ucap Albertina.

"Kalau tetap juga dilanjutkan ke sidang etik, sidang etik sidang-nya tertutup seperti biasa. Jadi, nanti putusan-nya saja yang akan terbuka itu kalau dilanjutkan tetapi kalau tidak dilanjutkan karena tak cukup bukti, tentu saja dari dewan pengawas juga akan memberikan surat kepada pelapor," tutur-nya.

Sebelumnya, dua penyidik KPK Novel Baswedan dan Rizka Anungnata serta mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko melaporkan Lili kepada Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik. "Laporan ini disampaikan pada Selasa, 8 Juni 2021 terkait dua dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan oleh tiga pelapor," kata Sujanarko melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (9/6).

Pertama, dugaan menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Atas dugaan perbuatan tersebut, Lili diduga melanggar prinsip integritas, yaitu pada Pasal 4 ayat (2) huruf a, Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Kedua, dugaan Lili menggunakan posisinya sebagai Pimpinan KPK untuk menekan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial untuk urusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo Tanjungbalai.

Atas dugaan perbuatan tersebut, Lili diduga melanggar prinsip Integritas yaitu pada Pasal 4 ayat (2) huruf b, Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Tags:

Berita Terkait