Dikritik, Pendekatan Pidana dalam Kasus Pengadaan Barang dan Jasa
Berita

Dikritik, Pendekatan Pidana dalam Kasus Pengadaan Barang dan Jasa

Prinsip ultimum remedium seharusnya berlaku juga untuk pengadaan barang dan jasa.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi aspek pidana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ilustrator: HGW
Ilustrasi aspek pidana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ilustrator: HGW

Mayoritas perkara yang menyangkut pengadaan barang dan jasa (PBJ) diselesaikan secara pidana. Angka yang disebut Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Roni Dwi Susanto, berikut membuktikannya. Dari 307 perkara PBJ, sebanyak 282 ditangani secara pidana. Sisanya, diselesaikan dalam konteks persaingan usaha, perdata, dan administrasi.

Itu berarti selama ini aparat penegak hukum lebih menggunakan pendekatan pidana terlebih dahulu ketika menemukan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa. Roni tak menampik bahwa memisahkan mana aspek pidana, mana aspek administrasi dan aspek perdata dalam pengadaan perdata tidak mudah. Pendekatan pidana lebih banyak digunakan antara lain karena aspek-aspek pidana dapat muncul pada setiap proses PBJ.

“Pidana bisa muncul di tahap apa saja. Termasuk tahap perencanaan,” jelas Roni saat membuka acara diskusi webinar ‘Penerapan Ranah Hukum Administrasi Negara, Perdata dan Pidana dalam Pengadaan Barang Jasa’ yang diselenggarakan LKPP, Senin (24/8) kemarin.

Pendekatan pidana inilah yang memunculkan kritik dari sejumlah pihak. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, misalnya mengingatkan proses PBJ adalah proses administratif yang seharusnya diselesaikan melalui pendekatan hukum administrasi. Jika lembaga pengawasan internal menemukan kerugian negara akibat kesalahan administratif, maka mekanisme pembayaran ganti rugi keuangan negara itu sudah diatur dalam Pasal 20 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika ternyata tidak ada penyalahgunaan wewenang, kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan; dan sebaliknya jika kerugian akibat penyalahgunaan wewenang, maka harus diganti oleh Pejabat Pemerintahan.

“Jangan ujug-ujug semua pidana. Seharusnya perdata dan administrasi sudah optimal dilakukan, baru ke pidana,” tegas Dian Puji di acara yang sama.

(Baca juga: Ini Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Penanganan Covid-19).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Eman Suparman, melihat PBJ tak bisa dilepaskan dari hukum perdata karena dalam PBJ dua pihak membuat perjanjian atau kontrak. Satu pihak bersedia menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan, pihak lain yang membutuhkan barang/jasa bersedia membayar harga yang ditetapkan dalam kontrak. Pasal 1 angka 44 Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan Kontrak Pengadaan Pengadaan Barang/Jasa adalah perjanjian tertulis antara Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola.

Dalam PBJ ada kegiatan pra-kontrak yakni pemilihan rekanan; ada pula tahap pelaksanaan kontrak. Para pihak yang berkontran terikat pada Pasal 1338 dan 1340 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek). Tetapi, Eman Suparman menambahkan, kontrak PBJ tidak tunduk pada hukum perdata an sich (semata), tetapi juga bersifat sui generis. “Pengadaan Barang dan Jasa adalah kontrak sui generis,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait