Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa
Feature

Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa

Melemah di tangan kepentingan Soekarno di masa Orde Lama hingga Soeharto di masa Orde Baru.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Ego sektoral kelembagaan semakin tajam. Jaksa tidak lagi terlibat sejak awal proses peradilan pidana yang disebut KUHAP sebagai penyelidikan dan penyidikan. Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Narendra Jatna mengatakan pola diferensiasi fungsional merugikan masyarakat. Hal itu karena membuat perlindungan penduduk melemah.

“Upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan tidak bisa dipertimbangkan Jaksa. Padahal belum tentu perkara tersangka akan dilanjutkan ke dakwaan,” ujar pria yang sebelumnya pernah menjabat Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung dan Asisten Khusus Jaksa Agung ini.

Hukumonline.com

Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Narendra Jatna. Foto: RES 

Sebagai akademisi dan peneliti, Fachrizal melihat kejaksaan penuh dilema tidak hanya karena KUHAP. Lalu, bagaimana idealnya kejaksaan di masa mendatang?

“Pertama jaksa harus bisa bekerja independen secara individu. Hilangkan budaya militer di kejaksaan,” saran dia. Ia mengatakan konsep “kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” (een en ondeelbaar) salah kaprah dipraktikkan dengan cara komando militer. Para Jaksa harus mendapat izin secara hirarki dari atasan untuk menentukan rencana tuntutan (rentut).

“Padahal maksudnya itu Jaksa dalam beracara atas nama jabatan Jaksa. Jadi, siapa saja Jaksa yang hadir atau menggantikan sama saja. Tidak seperti advokat yang kalau diganti harus ganti surat kuasa,” ujarnya.

Kedua, Fachrizal menuntut KUHAP harus diganti konsepnya tidak lagi dengan diferensiasi fungsional. “Itu cara Orde Baru yang masih kita gunakan di masa reformasi selama 20 tahun. Makanya nggak ada perubahan signifikan.”  

Lebih lanjut, Fachrizal mengingatkan penyidikan dilakukan untuk kepentingan persidangan. Pengumpulan bukti sejak awal harus diarahkan Jaksa untuk mengumpulkan bukti yang tepat. “Minimal fungsi reserse kriminal kepolisian harus bekerja di bawah arahan Jaksa,” usulnya.

Fachrizal menilai sistem kerja Jaksa dan Polisi dalam KUHAP adalah model “gado-gado” yang mengacaukan penegakan hukum. “Saat ini kuasa Polisi tidak bisa dibedakan mana yang dalam rangka penegakan hukum pidana dan mana yang penertiban sosial. Dia (kepolisian, red) tidak diawasi pengadilan, kejaksaan, berkuasa terlalu besar,” kritiknya.

Pertanyaannya, jika kejaksaan memperoleh kembali kuasanya dalam sistem peradilan pidana apakah Jaksa siap untuk mewujudkan penegakan hukum yang lebih adil?

Tags:

Berita Terkait