Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa
Feature

Dilema Kejaksaan, Cerita Lama Pasang Surut Kuasa Demi Politik Penguasa

Melemah di tangan kepentingan Soekarno di masa Orde Lama hingga Soeharto di masa Orde Baru.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit

Kolonial Belanda membangun dua sistem peradilan pidana. Politik hukum ini mengikuti penggolongan penduduk masa itu. Sistem pertama khusus untuk golongan Eropa dan yang kedua untuk golongan pribumi. Petugas peradilan memiliki hirarki, kewenangan, dan nama berbeda. Istilah jaksa digunakan untuk petugas penuntut umum dalam peradilan golongan pribumi. Istilah untuk petugas penuntut umum di peradilan golongan Eropa adalah Officieren van Justitie.

Hukum yang berlaku juga berbeda. Golongan Eropa menggunakan Reglement op de Strafvordering/SV yang paling sama dengan hukum di Belanda. Golongan pribumi di tanah koloni menggunakan Inlandsch Reglement/IR yang isinya tidak tertib dalam hukum acara dan lebih rendah kualitasnya.

“IR itu lalu diganti dengan Herziene Inlandsch Reglement/HIR yang mulai berlaku tahun 1941. Isinya mencoba melakukan unifikasi sistem peradilan golongan Eropa dan pribumi,” kata Fachrizal menjelaskan. Peran Jaksa digantikan sehingga Officieren van Justitie juga menangani perkara pribumi.

Kala itu Officieren van Justitie bekerja dengan para pembantu yang disebut magistraat. Diantara para magistraat itu adalah polisi untuk investigasi perkara pidana. Polisi yang membantu kerja investigasi ini biasa disebut hulpmagistraat. “Jadi saat itu sudah ada polisi yang bekerja sebagai asisten untuk mencari bukti,” kata Fachrizal. Ia memastikan kala itu Officieren van Justitie yang berwenang mengatur perkara sampai upaya paksa penangkapan dan penahanan. Mereka yang berperan memimpin sistem peradilan pidana sampai tiba ke persidangan.

Praktik HIR yang demikian berlangsung sampai masa Jepang mengambil alih Indonesia. Orang-orang Belanda diusir dari Indonesia saat itu. Posisi Officieren van Justitie dan para magistraat diisi oleh pribumi yang pernah menjabat Jaksa. Berbagai istilah peradilan diganti dengan bahasa Jepang. “Jepang tetap menggunakan HIR karena orientasinya sibuk berperang, bukan penegakan hukum,” kata Fachrizal.

Sejak masa kemerdekaan tahun 1945 nama Jaksa digunakan sepenuhnya untuk menggantikan Officieren van Justitie dan mengambil alih perannya. Kejaksaan menjadi bagian dari Kementerian Kehakiman secara administrasi, tapi kerjanya berada dalam struktur organisasi Mahkamah Agung. Namun, status kelembagaannya terbilang independen.

“Saat itu kerja polisi dalam perkara pidana ada di bawah supervisi Jaksa dan Jaksa Agung, itu sampai tahun 50-an,” kata Fachrizal. Jaksa bahkan berperan juga untuk menangani perkara pidana oleh militer melalui polisi militer. Masa ini disebut para ahli sebagai masa keemasan kejaksaan sampai tahun 1959. Buktinya, meski kejaksaan bagian dari Kementerian Kehakiman, para jaksa berhasil menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi.

Tags:

Berita Terkait