Dinilai Cacat Formil, Sejumlah Tokoh Minta MK Batalkan UU IKN
Utama

Dinilai Cacat Formil, Sejumlah Tokoh Minta MK Batalkan UU IKN

Majelis Panel menyarankan agar pengujian formil dan materil UU IKN dipisah.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Perkara Nomor 34/PUU-XX/2022 diajukan oleh 21 orang Pemohon, diantaranya ada sejumlah tokoh yakni Prof Azyumardi Azra, Prof M. Sirajuddin Syamsudin, Prof Didin S. Damanhuri, Prof Nurhayati Diamas, Jilal Mardhani, dan lainnya. Para Pemohon menguji secara formil sekaligus secara materil keseluruhan UU IKN yang dinilai cacat formil.

Para Pemohon beranggapan proses pembentukan UU IKN dilakukan hanya dengan mendengar masukan dari berbagai narasumber, namun tidak ada pertimbangan dan penjelasan atas berbagai pertimbangan yang sangat merepresentasikan pandangan para Pemohon. Hal ini mengakibatkan hak para Pemohon memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya menjadi dirugikan dan mengakibatkan tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Terkait pengujian materiil UU No. 3/2022, para Pemohon merasa dirugikan dengan lahirnya Pasal 1 ayat (2) dan ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU No. 3/2022. Ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena tidak terpenuhinya jaminan pengakuan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” ujar Kuasa Hukum Para Pemohon, Ibnu Sina di ruang sidang MK, Kamis (24/3/2022) seperti dikutip laman MK.

Baca:

Mengenai alasan pengujian formil, para Pemohon berdalih Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 memberi kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan justru menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk memperdebatkan dan mendiskusikan isinya, maka dapat dikatakan pembentukan peraturan perundang-undangan melanggar kedaulatan rakyat.

Sedangkan mengenai alasan pengujian materiil, ungkap para Pemohon, menurut ketentuan dalam UU IKN bahwa format ibu kota negara nusantara adalah satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi, yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di ibu kota negara nusantara, diselenggarakan oleh otorita ibu kota negara nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus ibu kota negara nusantara.

Menurut para Pemohon, format ibu kota negara nusantara yang berbentuk otorita tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah.

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pembentukan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pinta Ibnu Sina.

Tags:

Berita Terkait