Cepatnya proses pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022) lalu, kembali menimbulkan kritikan dari sejumlah elemen masyarakat. Bahkan, sejumlah warga negara sudah mendaftarkan pengujian UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (2/2/2022) kemarin. Alasannya, pengesahan UU IKN itu dinilai cacat formil karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan.
“Ini isu penting, bukan hanya karena IKN itu sendiri, tetapi juga proses legislasinya. Proses legislasi lagi-lagi dikecilkan. Padahal yang namanya legislasi bukan dokumen sembarangan. Kita bicara UU, bukan dokumen biasa, gak boleh selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya seperti yang tengah dialami,” ujar Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam IG Live Hukumonline bertajuk “Polemik Pengesahan UU Ibu Kota Negara”, Kamis (3/2/2022).
Dia melanjutkan selain memperhatikan proses pembentukan UU, isi UU IKN sepatutnya juga sesuai konstitusi karena dokumen tersebut akan mengikat seluruh warga negara Indonesia. Jika tidak diperhatikan baik-baik, potensi terjadi kekacauan hukum yang sebelumnya terjadi dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, bakal kembali mencuat.
(Baca Juga: Mempersoalkan Konstitusionalitas Otorita Ibu Kota Nusantara dalam UU IKN)
Bivitri menilai proses pembentukan UU IKN sangat tidak sesuai. Misalnya, kalau bicara proses yang selama ini dipersoalkan, didiskusikan, dan diputuskan yang terbaru pada UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional walaupun bersyarat. "Penggunaan kata 'in' sudah menandakan MK sebenarnya sudah memberi panduan kepada pembentuk UU terkait proses yang seharusnya dilakukan,” ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu melihat partisipasi masyarakat belum terpenuhi dalam proses pembentukan UU IKN. Meski dari dokumentasi yang didapat, salah satunya dengar pendapat umum (DPU) dengan 26 ahli pada tanggal 8-12 Desember 2021. Akan tetapi, dia menyatakan 26 ahli tersebut tidak berarti menandakan adanya partisipasi masyarakat.
“Karena MK sudah bilang dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja bahwa perlu adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation),” ujarnya mengingatkan.
Tepatnya, pada halaman 393 Putusan No.91/PUU-XVIII/2020 itu termuat 3 syarat yang harus dipenuhi agar tercipta partisipasi yang bermakna. Pertama, terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).