Pembentukan UU Ibu Kota Negara Dinilai Belum Penuhi Partisipasi Bermakna
Terbaru

Pembentukan UU Ibu Kota Negara Dinilai Belum Penuhi Partisipasi Bermakna

Dalam Putusan MK 91/2020 memuat 3 syarat yang harus dipenuhi untuk mengukur partisipasi bermakna dalam pembentukan UU. Yakni terpenuhinya hak untuk didengarkan pendapat, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Oleh:
CR-28
Bacaan 4 Menit

"Ahli itu bukan orang-orang yang sesungguhnya akan terkena dampak. Berapa puluh ahli pun boleh diundang, tapi pertanyaannya apakah orang-orang di Penajam Paser Utara itu benar-benar didengar, diberi penjelasan, kemudian dipertimbangkan pendapatnya? Dari dokumentasi yang ada, bahkan dari kawan-kawan saya dari Kalimantan Timur sudah bercerita di forum khusus, itu tidak dipenuhi,” bebernya.

Dia mengaku sempat berdialog dengan Ketua Pansus yang menyampaikan bahwa telah diadakan 3 konsultasi publik di 3 kampus. Tepatnya, di Universitas Sumatera Utara (USU) di wilayah Barat; Universitas Mulawarman di wilayah tengah; dan Universitas Hasanuddin di wilayah timur. “Tapi apakah diskusi di kampus sama dengan partisipasi masyarakat yang akan terkena dampak? Menurut saya tidak. Inilah kecenderungan yang terjadi belakang ini, dimana para ahli dan kampus-kampus dijadikan semacam ‘stempel’ (justifikasi, red) untuk membuat kebijakan,” kritiknya.

Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun sudah mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan aturan. Namun, yang terjadi partisipasi masyarakat hanya sekedar dijadikan semacam “daftar belanja” yang cukup dicontreng jika telah terlaksana. Misalnya, telah dilakukan konsultasi publik di 3 kampus, mengundang 26 ahli yang jelas tidak diragukan keahlian mereka.

“Dalam UU 12/2011 pun ada asas-asas peraturan perundang-undangan, misalnya kesesuaian materi muatannya, dan lain-lain. Itu kalau kita cermati secara mendalam, cukup banyak yang dilanggar. Menurut saya wajar ya, karena itu tadi waktunya terlalu sedikit, tertutup, kurang partisipatif, biasanya ada implikasi terhadap materi muatan yang belum baik.”

(Baca Juga: Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU Menurut Pandangan MK)

Dirinya tak mengelak adanya studi pemindahan ibu kota negara yang telah dilakukan Bappenas secara serius. Namun dipertanyakan bagaimana hasil studi tersebut telah diperbincangkan secara luas ke publik baik warga Penajam Paser Utara maupun seluruh warga Indonesia.

“Kita juga tahu di Penajam Paser Utara itu cukup banyak masyarakat adat, apakah mereka pernah diajak berdialog? Dijelaskan misalnya apa implikasi dari pemindahan ibu kota itu terhadap masyarakat adat yang sudah tinggal di sana sejak sebelum kemerdekaan. Bagaimana implikasinya terhadap tanah-tanah mereka? Jika ada masa transisi, bagaimana akomodasi mereka selama itu? Apakah selama 4 tahun ini dengan studi-studi yang hebat itu, sudah diperbincangkan dengan masyarakat di sana?”

Dari dialog dengan rekan-rekannya di Kalimantan Timur, tidak diadakan dialog seperti itu. “Perencanaannya secara teknokratik dilakukan, studi ada, tetapi apakah perencanaan itu juga melibatkan masyarakat luas yang terkena dampak ataupun kita semua. Karena yang terkena dampak bukan hanya masyarakat di Kalimantan Timur, tetapi orang di DKI Jakarta juga akan terkena dampak. Apakah sudah dibicarakan? Ternyata itu belum dilakukan,” bebernya.

Dengan begitu, menurutnya proses pembentukan UU IKN belum betul-betul mengakomodir partisipasi masyarakat yang bermakna. "Menurut saya sih ini (UU IKN) cacat formil dan sangat disayangkan. Kita kan punya harapan besar, termasuk saya sendiri. Waktu ada uji formil UU Cipta Kerja, ada harapan putusan MK itu akan diperhatikan agar DPR dan pemerintah bisa belajar dari kesalahan yang terjadi. Tetapi itu ternyata sama sekali tidak dipedulikan.”

Tags:

Berita Terkait