Disahkan Sebelum Reses, DPR: Pembahasan RKUHP Harus Ada Ujungnya
Terbaru

Disahkan Sebelum Reses, DPR: Pembahasan RKUHP Harus Ada Ujungnya

DPR dan pemerintah diminta menunda pengesahan RKUHP karena masih ada sebelas pasal yang dinilai masih bermasalah.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Ketiga, perampasan aset untuk denda individu. Menurut Isnur, hukuman kumulatif berupa denda semakin memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Pasal itu memperkuat posisi penguasa. Hukuman kumulatif merupakan metode kolonial dan menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.

Keempat, pasal penghinaan presiden yang selama ini disorot koalisi sebagai pasal anti kritik. Ketentuan itu mengatur masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pidana. Kelima, begitu juga dengan pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah. “Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujar Isnur.

Keenam, pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP memposisikan hakim di ruang persidangan seperti dewa. Padahal selama ini di dalam persidangan masyarakat kerap menemui hakim yang berpihak. Jika aturan ini disahkan, dan pada saat dinilai tidak hormat kepada hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas pengadilan. “Pasal ini berbahaya bagi advokat, saksi, dan korban,” bebernya.

Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan, menurut Isnur masuk sebagai salah satu pasal RUU KUHP yang anti demokrasi. Ketentuan itu tergolong anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya bisa dijatuhi pidana penjara.

Delapan, pasal yang mengacam pidana terhadap pihak yang melakukan edukasi kontrasepsi. Isnur berpendapat pasal itu berpotensi mengkriminalisasi pihak yang melakukan edukasi kesehatan reproduksi. Ironisnya, pasal ini bisa mengkriminalisasi orang tua atau pengajar yang mengajarkan kesehatan reproduksi terhadap anak.

Sembilan, pasal kesusilaan. Bagi Isnur pasal ini berbahaya karena memposisikan penyintas kekerasan seksual rentan mengalami kriminalisasi. Sepuluh, pasal terkait pidana agama. Ketentuan itu akan mengekang kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan. Harusnya urusan agama adalah urusan individu yang sifatnya personal. “Jika RUU KUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik,” urai Isnur.

Sebelas, pasal yang mengancam pidana bagi penyebar marxisme dan leninisme, serta bertentangan dengan pancasila. Ancaman pidana itu mengekang kebebasan akademik dan berpotensi digunakan untuk membungkam kalangan oposisi dan masyarakat yang kritis.

Tak hanya memuat pasal bermasalah, Isnur mencatat proses pembahasan RUU KUHP tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan. DPR dan pemerintah lebih baik tidak terburu-buru mengesahkan RUU KUHP sebelum masa reses. Harus dibuka ruang yang luas untuk melakukan diskusi mendalam bersama berbagai ekemen masyarakat.

“Untuk itu, DPR dan pemerintah harus mencabut pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,” tegas Isnur.

Tags:

Berita Terkait