Dokter Spesialis Anestesi Gugat Dekan FKUI ke Pengadilan
Berita

Dokter Spesialis Anestesi Gugat Dekan FKUI ke Pengadilan

Karena dinilai telah sewenang-wenang

HRS
Bacaan 2 Menit
Dokter Spesialis Anestesi Gugat Dekan FKUI ke Pengadilan
Hukumonline
Dokter Spesialis Anestesi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Tantani Sugiman melayangkan gugatan terhadap Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan yang telah terdaftar di PN Jakpus sejak 9 September 2013 ini tak hanya menyeret Dekan FKUI, tetapi juga Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Kepala Departemen Anestesi RSCM, dan Ketua Departemen Anestesi FKUI. Dasar hukum gugatan adalah Surat Nomor 3889/TU.K/RHS/III/2010 tertanggal 25 Maret 2010 yang dikeluarkan oleh RSCM.

Surat itu berisi pernyataan RSCM untuk mengembalikan Tantani Sugiman selaku staf medis RSCM ke pihak kampus. Surat ditujukan langsung kepada Dekan FKUI. Surat ini merupakan imbas dari surat Kepala Departemen Anestesi RSCM sebelumnya pada 4 Maret 2010. Surat itu menyebutkan Tantani tak melakukan tugas pelayanan di RSCM dengan baik.

Berdasarkan berkas gugatan yang diperoleh hukumonline, Tantani menilai terbitnya surat itu merupakan tindakan yang sewenang-wenang dan melanggar hukum. Pasalnya, pihak RSCM sama sekali tidak pernah memberikan peringatan terlebih dahulu kepada Tantani sebelum ‘mengembalikannya’ ke kampus. Apalagi, dasar Tantani bekerja di RSCM adalah Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Hingga kini, SK Menteri yang mengangkat Tantani itu belum pernah dicabut.

“Padahal ketika bekerja, Tantani selalu menunjukkan dedikasi yang tinggi, profesional, dan penuh tanggung jawab,” tulis kuasa hukum Tantani, Muhammad Jihadin dalam berkas gugatannya.

Pasca terbitnya surat itu, Tantani telah berupaya untuk membicarakan persoalan ini dengan pihak RSCM. Kala itu, pihak RSCM menjanjikan akan mempertemukan Tantani dengan Dekan FKUI. Namun, janji itu hingga kini tidak pernah terlaksana.

Tantani menilai surat ini sangat merugikan dirinya. Ia tak lagi diperbolehkan mengajar di program Keterampilan Klinik Dasar (KKD) dan program Kelas Internasional (KI) S1. Selain itu, dia juga dilarang berpraktek sebagai dokter anestesi. FKUI beralasan tak dapat mempertanggungjawabkan pengajaran yang diberikan Tantani.

Selain tak dapat mengajar, Tantani juga sangat kesulitan dalam mengurus sertifikasi dosen dan kepangkatannya. Namun, hal ini dibiarkan saja oleh Dekan FKUI. Bahkan, Dekan FKUI langsung mengeluarkan surat tertanggal 11 Maret 2013 yang menugasi Tantani sebagai staf pengajar di Rumpun Ilmu Kesehatan UI sejak April 2013, padahal Tantani tak ahli dalam bidang Ilmu Kesehatan.

Karenanya, Tantani menilai ada upaya sistematis dari para tergugat untuk membunuh karakter Tantani sebagai spesialis anestesi. Untuk itu, Tantani meminta ganti rugi materil sebesar gaji dan renumerasi yang tak dibayar RSCM dan FKUI sejak April 2010 hingga September 2013, yaitu sejumlah Rp1,353 miliar. Selain itu, Tantani juga meminta ganti rugi immaterial sejumlah Rp1 miliar.

“Meminta majelis hakim PN Jakarta Pusat menyatakan surat-surat tersebut tak sah dan batal demi hukum,” demikian sebagaimana yang tertuangkan dalam gugatan.

Kuasa Hukum Dekan FKUI, Puti Shelia mengatakan RSCM mengeluarkan surat tersebut berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara RSCM dan UI Nomor 4496/TU.K/54/V/2009. Isinya adalah RSCM dapat mengembalikan para dokter yang dianggap tidak mendukung terlaksananya peningkatan mutu pelayanan, pendidikan, dan penelitian.

Puti juga menampik bila RSCM tak memberikan teguran terlebih dahulu kepada Tantani. Pada 2 Desember 2009, RSCM telah memberikan peringatan lisan kepada Tantani. Namun, teguran ini diabaikan Tantani.

Tak hanya teguran lisan, Tantani juga tak menjalankan Berita Acara Rapat lainnya pada Desember 2008. Salah satunya adalah menolak melakukan pemeriksaan diri kepada psikiatri. Perintah ini timbul karena Tantani dinilai memiliki hambatan dalam berkomunikasi.

Selain itu, Puti membantah bila Dekan FKUI telah sewenang-wenang dalam memindahkan Tantani dari FKUI ke Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK). Hal ini merujuk kepada Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan RI Nomor 66315/A2/A2.IV.1/KP/1997 tentang pemindahan Tantani dari FK UGM ke FKUI. SK Menteri tersebut tak pernah menyebutkan satu pun departemen khusus bagi Tantani untuk bekerja.

“Penugasan ke RIK itu tidak bertentangan dengan surat tersebut sepanjang penugasan tersebut masih berada di unit kerja FKUI sebagai tenaga pengajar,” tutur Puti kepada hukumonline, Senin (27/1).

Lebih lanjut, Puti menambahkan Dekan FKUI beralasan penempatan Tantani ke RIK sebagai upaya menjalankan tridarma perguruan tinggi. Berdasarkan risalah rapat pada 12 September 2012, pimpinan FKUI melihat Tantani tak dapat berkembang di Departemen Anestesi. Namun, pimpinan melihat potensi Tantani di RIK.

Tantani selaku staf pengajar dianggap mampu berperan dalam penyelenggaran pendidikan di RIK mengingat dia pernah menjabat Sekretaris Program Studi. Terkait dengan keahliannya di bidang anestesi, pimpinan FKUI mengatakan keahlian itu akan dibutuhkan ketika Rumah Sakit Pendidikan telah beroperasi.

Selain membantah dari segi pokok perkara, Puti menilai gugatan ini salah alamat. Ia mengatakan objek yang menjadi gugatan Tantani adalah seputar surat-surat yang dikeluarkan oleh para tergugat. Sehingga, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili dan memeriksa perkara ini.

“Pengadilan Tata Usaha Negara-lah yang berwenang memeriksa perkara ini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait