Dosen FMIPA UI Persoalkan Aturan Pengangkatan Guru Besar
Terbaru

Dosen FMIPA UI Persoalkan Aturan Pengangkatan Guru Besar

Pemohon diminta memperbaiki format permohonan sesuai dengan ketentuan Hukum Acara MK. Mulai dari identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, alasan permohonan, hingga petitum permohonan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), Rabu (16/6/2021). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 20/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Sri Mardiyati yang merupakan Dosen FMIPA Universitas Indonesia.

Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dalam kasus konkrit, Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019. Setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon,” ujar salah seorang kuasa Pemohon, S.F Marbun dalam persidangan seperti dikutip laman MK.

Pemohon menganggap seharusnya sesuai Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh Menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi.  

Bagi Pemohon, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa “pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. “Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud Pasal 50 ayat (4) tersebut,” kata Marbun kepada Majelis Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Menurut Pemohon, dalam praktiknya, Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU Guru dan Dosen. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi.

Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa penetapan jenjang jabatan akademik merupakan kewenangan dari Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi, tanpa ada campur tangan Menteri”.

Selain itu, Pemohon meminta Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) secara khusus di Universitas Indonesia, sepanjang tidak dimaknai bahwa “pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan” tidak sesuai dengan PP Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia.

Perbaiki format permohonan

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta format permohonan sesuai dengan ketentuan Hukum Acara MK. Pokok permohonan terdiri dari identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, alasan permohonan. Dalam kedudukan hukum, Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal yang diuji. Berikutnya, alasan mengajukan permohonan, yang harus dijelaskan berlakunya pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945.

“Terakhir disebutkan apa yang dimohonkan oleh Pemohon (petitum, red),” kata Saldi menjelaskan.

Saldi menilai permohonan Pemohon yang mengarah pada kasus konkret yang dialami Pemohon. Terkesan Pemohon ingin menguji keberlakuan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen terhadap peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945, bukan untuk kasus konkrit.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati permasalahan untuk menjadi guru besar seperti dialami Pemohon. “Apakah itu merupakan konstitusionalitas norma atau bukan? Karena kalau ke MK yang diselesaikan terkait konstitusionalitas norma, bukan persoalan implementasi norma. Apalagi kalau ketentuan itu berada jauh di bawah undang-undang,” kata Enny.

Ketua Majelis Panel Arief Hidayat mengingatkan penyusunan permohonan harus pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. “Itu PMK terbaru, bisa dicari di laman MK. Khusus Pasal 10 ayat (2) PMK No. 2 Tahun 2021 diatur mengenai format permohonan pengujian undang-undang. Itulah yang pertama harus dipegang dan dijadikan dasar,” ujar Arief.

Tags:

Berita Terkait