DPR Anggap Hukum Acara yang Dibuat MK Melanggar Undang-Undang
Utama

DPR Anggap Hukum Acara yang Dibuat MK Melanggar Undang-Undang

Pembacaan pandangan DPR dihentikan hakim karena dianggap melebar dan tidak berkaitan dengan substansi judicial review UU Penyiaran.

Mys
Bacaan 2 Menit
DPR Anggap Hukum Acara yang Dibuat MK Melanggar Undang-Undang
Hukumonline

 

Tosari terus mengkritik PMK mengenai hukum acara tersebut. Bunyi ayat (2) inilah yang dianggap DPR bertentangan dengan pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi. Tosari lalu mengutip asas hukum yang berlaku universal: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Menurut hukum, seharusnya pasal 42 tidak boleh bertentangan dengan pasal 60 tersebut, jelas Tosari.

 

Alih-alih mengupas latar belakang penyusunan UU Penyiaran yang diujikan, Tosari terus mengurai pandangan tentang PMK 06/2005. Penjelasan itu tampaknya membuat hakim konstitusi 'gerah'. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie langsung bereaksi. Ia menyela, Kalau tak ada kaitannya dengan substansi persoalan, lebih baik tidak usah.

 

Tosari mencoba menjelaskan bahwa PMK ada kaitannya dengan permohonan pengujian UU Penyiaran. Mahkamah agaknya tidak terima. Jimly menegaskan bahwa masalah konstitusionalitas pemohon akan dinilai kesembilan hakim konstitusi. Ia minta penjelasan tak melebar kemana-mana. Jadi, (yang dijelaskan—red) bukan persoalan instansi lain, tandasnya.

 

Menurut Jimly, kalau DPR mau mengkritik PMK sudah ada wadahnya. Misalnya melalui forum konsultasi. Guru Besar Hukum Tata Negara ini lantas mengkritik pola pikir sebagian orang yang mencampuradukkan hal-hal lain ke dalam suatu perkara.

 

Setelah insiden 'panas' beberapa menit itu, akhirnya Jimly mempersilahkan kembali Tosari menyampaikan pandangan DPR. Syaratnya, harus ada kaitan dengan substansi permohonan KPI. Tosari pun mengalihkan bahasannya ke pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Mantan Wakil Ketua DPR itu tak lagi menyinggung PMK 06 Tahun 2005.

 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyampaikan pandangan bernada kritik terhadap Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Anggota Komisi I DPR Tosari Wijaya menyatakan pasal 42 ayat (1) PMK tersebut bertentangan dengan Undang-Undang.

 

Tosari menyampaikan pandangan itu, ketika menjadi kuasa DPR dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Kamis (08/3). Semula, majelis meminta DPR memberikan pendapat atas permohonan pengujian UU Penyiaran yang diajukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tosari pun menjelaskan bahwa DPR menganggap permohonan KPI tidak berdasar karena sudah pernah diputus sebelumnya.  

 

Politisi PPP itu lantas merujuk pada ketentuan pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi (No. 24 tahun 2003), yang menyebutkan Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Dalam dunia hukum, larangan mengajukan persoalan yang sudah diputus sebelumnya  dikenal dengan istilah ne bis in idem, atau double jeopardy.

 

Nah, ketika mengupas aturan inilah pandangan DPR melebar ke PMK tadi. DPR berpendapat bahwa MK telah memperluas kewenangannya sendiri dalam hukum acara. Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi sudah tegas menyebut, dan kembali dikutip pada pasal 42 ayat (1) PMK. Tetapi pada ayat (2) MK membuka kembali pintu pengujian UU yang sudah pernah diputus sebelumnya. Ayat (2) PMK 06 menyebutkan: Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.

Halaman Selanjutnya:
Tags: