DPR Tunggu Sikap Pemerintah Terkait Tindak Lanjut Putusan UU Cipta Kerja
Utama

DPR Tunggu Sikap Pemerintah Terkait Tindak Lanjut Putusan UU Cipta Kerja

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 ini dinilai menggantung atau tidak berani tegak, lurus, dan tegas dengan logika hukum yang dibangun.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pasca terbitnya Putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat, Pemerintah berjanji bakal mematuhi putusan tersebut dan memperbaiki UU tersebut. Sementara DPR menunggu sikap pemerintah terkait tindak lanjut putusan tersebut. DPR juga bakal mendorong presiden untuk segera merevisi UU 11/2020 sesuai amanat putusan MK.

“Karena UU Cipta Kerja yang diputus MK ini merupakan inisiatif Pemerintah, kita tunggu. Tapi DPR juga akan berkomunikasi dengan pemerintah,” ujar mantan Anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja yang juga Anggota Baleg DPR, Firman Subagyo saat dihubungi Hukumonline, Jum’at (25/11/2021).  

Firman mengatakan DPR sendiri prinsipnya menghormati amanat putusan MK yang bersifat final dan mengikat bagi semuanya. Bagi DPR, merevisi sebuah UU adalah persoalan mudah karena aturan prosedur pembuatan UU terbuka ruang melalui mekanisme kumulatif terbuka yang dapat dilakukan setiap saat sepanjang memenuhi ketentuan pembentukan peraturan yang berlaku. Misalnya, mengubah jumlah RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang dan pendek. Setelah itu, baru memasukan RUU Cipta dalam daftar kumulatif terbuka.

Anggota Komisi IV DPR itu melanjutkan sambil menunggu dan melihat perkembangan di pemerintah, DPR pun dapat menyiapkan materi perubahan UU Cipta Kerja. Sebab, membentuk UU menjadi kewenangan DPR dan pemerintah. “Tapi, terlebih dahulu kita menyerahkan ke pemerintah untuk penyiapan materi perubahan UU Cipta Kerja ini.”

Tapi, dia melihat pemerintah bakal bergerak cepat menyiapkan materi perubahan UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil tersebut karena pemerintah sudah terang-terangan bakal mentaati putusan MK. Dia berharap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko) bakal berkoordinasi dan menyiapkan materi perubahan tersebut. “Kita tunggu saja,” kata dia. (Baca Juga: Begini Pandangan Pakar Terkait Putusan Pengujian UU Cipta Kerja)

Dia menyangkal anggapan bahwa penggunaan metode omnibus law melanggar hukum lantaran tidak diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Padahal, penggunaan metode omnibus law pernah diterapkan dalam pembuatan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19; UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Tapi karena ini sudah menjadi putusan, kita hormati,” ujarnya.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menghormati putusan MK tersebut. Sebagai bentuk penghormatan, Pemerintah bakal mentaati dengan menindaklanjuti putusan MK. Menurutnya, berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ini, Pemerintah tidak diperbolehkan menerbitkan peraturan turunan baru dari UU 11/2020 yang bersifat strategis sampai dilakukannya perubahan dari UU 11/2020.

Dengan begitu, aturan turunan UU 11/2020 yang telah diberlakukan masih tetap berlaku. Sebagai bagian tindak lanjut dari putusan MK, Pemerintah bakal menyiapkan berbagai materi perbaikan dari UU Cipta Kerja. “Kita akan melaksanakan sebaik-baiknya arahan MK sebagaimana tertuang dalam putusan MK tersebut,” ujarnya.

Kehilangan legitimasi

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai berdasarkan amar putusan MK tersebut, pemerintah dan DPR dianggap melanggar secara formil prinsip-prinsip pembuatan UU sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, sehingga dianggap pula melanggar konstitusi yang mengatur kekuasaan membentuk UU.

Meskipun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah diberi kesempatan memperbaiki, kata Isnur, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 ini menggambarkan kekeliruan yang prinsipil. Sebab, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya masih tetap berlaku, padahal sudah dinyatakan cacat formil. Menurut YLBHI dan LBH seluruh Indonesia, Pemerintah telah kehilangan legitimasi untuk menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang telah diterbitkan.  

Pasca putusan MK, pemerintah dan DPR harus sadar atas kesalahan mendasar dalam pembentukan UU dan tidak mengulanginya. Dia mengingatkan kekeliruan serupa pernah dilakukan saat merevisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK; UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral Batubara, dan UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

“Maka saatnya penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup,” pintanya.

Selain itu, Pemerintah harus menghentikan berbagai proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup. Padahal, jauh sebelum ada putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah menilai UU 11/2020 melanggar konstitusi.

Di sisi lain, kata Isnur, ketidakpercayaan terhadap MK terjawab. Sebab, Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 merupakan bentuk kompromi. Menurutnya, putusan tersebut menyebutkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian.

Kendati menyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, tapi MK memberi putusan yang menggantung atau tidak berani tegak, lurus, dan tegas dengan logika hukum yang dibangun. Bagi Isnur, seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan “batal” saja. Dengan begitu, tidak membuat bingung masyarakat dan mentoleransi bentuk pelanggaran. Kondisi ini membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Ironisnya, 4 dari 9 hakim menyatakan dissenting opinion dalam arti berpendapat UU 11/2020 sesuai dengan Konstitusi (konstitusional). Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti,” katanya.

MK memutuskan mengabulkan sebagian pengujian formil UU Cipta Kerja. Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. “Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dari ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021) kemarin

Dalam amar putusannya, MK menentukan lima hal atas keberlakuan UU Cipta Kerja. Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Tags:

Berita Terkait