Dua Capres Dinilai Tak Concern Bahas Daerah Perbatasan
Berita

Dua Capres Dinilai Tak Concern Bahas Daerah Perbatasan

Ketahanan ekonomi nasional harus meliputi perlindungan dan perhatian terhadap daerah perbatasan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Dua Capres Dinilai Tak <i>Concern</i> Bahas Daerah Perbatasan
Hukumonline
Dalam debat Calon Presiden (Capres) yang ketiga, Prabowo Subianto dan Joko Widodo dinilai tidak concern memperhatikan daerah perbatasan. Tingkat kehidupan perekonomian masyarakat di daerah perbatasan minim perhatian dari pemerintah pusat. Hal itu sudah terjadi berulang tahun.

Demikian disampaikan anggota DPD dari Provinsi Riau, Intsiawati Ayus dalam sebuah diskusi di Gedung DPD bertajuk “Pertahanan Terbaik adalah Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat, Betulkah?”, Rabu (25/6). “Saya sedih yang dbicarakan Prabowo dan Jokowi tidak menyentuh daerah perbatasan,” ujarnya.

Daerah perbatasan di wilayah Indonesia jika tidak dirawat dan diperhatikan secara khusus justru akan berdampak pada pencaplokan oleh negara lain. Misalnya, soal pulau Sipadan dan Ligitan. Menurutnya, sejarah mencatat beberapa daerah terjadi serangkaian peristiwa daerah yang menginginkan lepas dari negara kesatuan Indonesia. Hal itu disebabkan kebijakan pemerintah pusat dinilai  tidak memberikan perhatian khusus pada daerah perbatasan.

“Presiden mana yang mau perduli dengan daerah perbatasan,” katanya.

Dikatakan Intsiawati, jika dua capres tidak memberikan perhatian khusus terhadap daerah perbatasan, persoalan tersebut akan terus terjadi di setiap rezim pemerintahan. Menurutnya, minimnya perhatian daerah dari pemerintah pusat disebabkan adanya jurang tingkat perekonomian.

Tidak meratanya tingkat perekonomian menjadi penyebab masyarakat daerah perbatasan menjual barang produksinya ke negara seberang. Sebaliknya, mereka enggan menjual barang produksi ke domestik.

“Untuk program pembangunan daerah perbatasan persentasenya kecil,” katanya.

Intsiawati berpandangan, tidak saja kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah pun tidak fokus dalam perlindungan terhadap daerah perbatasan. Padahal, jika saja pemerintah pusat dan daerah memiliki kebijakan yang kuat terhadap perlindungan daerah perbatasan mulai barat hingga timur, dapat meminimalisir lepasnya pulau lain seperti halnya Sipadan dan Ligitan.

“Memang terabaikan soal perbatasan. Itu permasalahannya managemen dan tata kelola. Lalu salah siapa, salah urus pemimpinnya,” ujarnya.

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ganewati Wuryandari, menambahkan persoalan ketahanan ekonomi nasional menjadi perhatian bagi Capres. Namun boleh jadi ekonomi menjadi ancaman jika tidak dirawat sedemikian rupa. Menurutnya, kondisi ekonomi saat ini menjadi tantangan kedua pasangan Capres. Siapapun yang terpilih, harus mampu memperbaiki perekonomian yang carut marut. Termasuk, perhatian terhadap daerah perbatasan.

Ganewati berpandangan pembangunan perekonomian, mulai infrastruktur belum dirasakan sepenuhnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia menilai masyarakat di daerah perbatasan belum sepenuhnya merasakan pembangunan ekonomi seutuhnya. Persoalan manajemen dan tata kelola pemerintahan yang baik menjadi persoalan pada setiap rezim pemerintahan.

“Wilayah perbatasan pembangunannya belum maju, karena persoalan manajemen saja,” imbuhnya.

Menurutnya, persoalan lain rezim pemerintahan selanjutnya adalah pelayanan pendidikan dan kesehatan yang belum merata. Permasalahan tersebut dinilai menggerogoti ketahanan nasional jika tidak segera dibenahi. Tak kalah penting, persoalan korupsi yang terus menggerogoti yang berdampak pada anggaran pendapatan negara.

“Jadi ketahanan bukan bicara kesejahteraan dan kemamuran, karena itu menjadi salah satu indikator ketahanan ekonomi,” ujarnya.

Manager Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan Capres Prabowo dan Jokowi dalam debatnya berbicara kemakmuran dan kesejahteraan. Bahkan, Jokowi dalam debat mengatakan akan menyelamatkan wilayah maritim dengan membeli drone atau pesawat tanpa awak. Padahal, kata Fithra, biaya pembelian drone terbilang mahal mencapai Rp1,5 triliun. Satu unit drone hanya mampu menjangkau 25 kilo meter.

“Sementara untuk mengawasi wilayah negara yang luas perlu puluhan ribu triliun. Sedangkan APBN kita hanya ribuan triliun,”pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait