Ekosistem Hukum Persaingan Usaha Indonesia: Apakah Masih Ada Ruang Perbaikan?
Kolom

Ekosistem Hukum Persaingan Usaha Indonesia: Apakah Masih Ada Ruang Perbaikan?

Sebuah esai 14 tahun pengamatan penegakan hukum persaingan usaha oleh seorang ekonom.

Bacaan 8 Menit

Kejanggalan tersebut sangat berpotensi mendistorsi penegakan hukum persaingan usaha. Jika dibiarkan tanpa ada usaha untuk mengubah kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan justru pelaku usaha yang telah berhasil menjadi besar karena integritas dan perencanaan yang baik menjadi serta merta langsung bersalah di mata hukum hanya karena menjadi besar. Setali tiga uang bagi otoritas persaingan usaha itu sendiri, akan sulit bagi otoritas persaingan untuk menerapkan hukum persaingan usaha sesuai dengan prinsip ekonomi yang ingin dicapai. Sehingga alih-alih menjadi pemicu perkembangan ekonomi, penerapan hukum persaingan usaha yang sedemikian rupa malahan berpotensi menjadi salah satu pemicu kemunduran ekonomi.

Kedua, dari sudut pandang daluwarsa, Penulis melihat bahwa UU Persaingan Usaha ini menjadi suatu peraturan perundangan yang sangat digdaya karena sama sekali tidak mengatur mengenai masa daluwarsa suatu pelanggaran. Jadi,meskipun praktik pelanggaran sudah selesai dilakukan pada tahun 2000, misalnya, namun pelaku usaha masih bisa dikenakan pasal pelanggaran UU Persaingan Usaha pada tahun 2030, 2050, atau bahkan 2070. Adalah sebuah kebaikan untuk umum jika rencana amandemen UU Persaingan Usaha dapat dilaksanakan, maka persoalan terkait daluwarsa perkara ini perlu menjadi salah satu prioritas utama.

Ketiga, terkait dengan prosedur penanganan perkara, Penulis melihat banyak potensi perbaikan yang dapat diterapkan dengan mudah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai pengawas pelaksanaan UU Persaingan Usaha. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak pelaku usaha untuk membela diri tetap dapat terlaksana dengan baik dan penuh tanpa mengkompromikan kerahasiaan data-data dan informasi yang sensitif dari pelaku usaha pesaing dari terlapor atau pelaku usaha lainnya.

Sebagai ekonom, Penulis memahami bahwa dalam pembuktian perkara persaingan, baik investigator maupun Majelis Komisi KPPU memerlukan banyak data sensitif dan rahasia. Namun demikian, hal mendasar utama yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa pelaku usaha yang berkedudukan sebagai terlapor dalam perkara persaingan juga memiliki hak penuh untuk menggunakan dokumen, data, ataupun bukti yang disampaikan di hadapan Majelis Komisi guna membela diri dari tuduhan yang disampaikan oleh KPPU. Jika tidak, maka persidangan tersebut sudah cacat sejak awal dan oleh karenanya tidak patut lagi untuk diteruskan.

Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh Majelis Komisi adalah untuk menyampaikan data-data sensitif dari pesaing ataupun pelaku usahanya hanya kepada ahli atau kuasa hukum terlapor sebagai tim bersih (clean team) dengan suatu perjanjian dan komitmen bahwa data-data sensitif tersebut tidak akan boleh, dalam media atau cara apapun sampai kepada pengetahuan pelaku usaha terlapor.

Keempat, UU Persaingan Usaha saat ini belum mengakomodir sifat dinamis sektoral dengan belum adanya mekanisme pengajuan permohonan imunitas terhadap penerapan hukum persaingan usaha (antitrust immunity) atas suatu rencana satu pelaku usaha atau lebih (atau bahkan rencana dari pemerintah) untuk tidak melakukan prinsip persaingan usaha namun tindakan tersebut memberikan keuntungan bersih kepada perekonomian secara keseluruhan selama jangka waktu tertentu. Sebagai perbandingan, program antitrust immunity ini jamak ditemukan pada yurisdiksi lainnya. Padahal dengan adanya program antitrust immunity ini, KPPU justru dapat terlibat lebih awal dalam menilai program usulan dari pelaku usaha ataupun pemerintah dari sisi persaingan usaha agar meskipun ada ketidaksesuaian prinsip, tetapi tetap menghasilkan keuntungan bersih bagi perekonomian. Dengan ini, maka KPPU justru dapat dengan lebih aktif meningkatkan fungsi advokasi dan pencegahannya.

Kelima, terkait dengan merger atau aksi korporasi yang berkaitan dengan saham, Penulis melihat bahwa KPPU saat ini hanya memiliki peran pasif. Hal ini karena sebagaimana diatur pada Pasal 29 UU 5/1999, suatu transaksi yang memenuhi persyaratan hanya wajib diberitahukan (atau dinotifiaksikan) kepada KPPU setelah transaksi tersebut selesai (post-merger regime). Padahal akan lebih efisien bagi perekonomian jika pemberitahuan tersebut dilaksanakan sebelum transaksi berlaku efektif. Hal ini karena jika KPPU berpendapat bahwa transaksi akan berakibat negatif pada iklim persaingan, maka biaya divestasi sebuah transaksi yang sudah efektif akan sangat tinggi dan sangat sulit bagi pelaku usaha. Demi kepastian hukum, kebaikan bagi proses bisnis, serta perekonomian maka akan lebih baik jika rencana amandemen UU 5/1999 juga mengganti rezim pengendalian merger dari mandatory post-merger menjadi mandatory pre-merger.

Tags:

Berita Terkait