Evaluasi Penegakan Hukum Ekonomi Digital 2022: Perlindungan Konsumen Jauh dari Harapan
Catatan Akhir Tahun 2022

Evaluasi Penegakan Hukum Ekonomi Digital 2022: Perlindungan Konsumen Jauh dari Harapan

Ada tiga hal dalam ekonomi digital yang perlu dijadikan bahan evaluasi, yaitu inklusi digital dan keuangan, belum meratanya konektivitas internet dan infrastruktur digital dan belum memadainya perlindungan data pribadi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Evaluasi Penegakan Hukum Ekonomi Digital 2022: Perlindungan Konsumen Jauh dari Harapan
Hukumonline

Persoalan lemahnya penegakan hukum ekonomi digital masih jadi perhatian yang harus dibenahi ke depannya. Berkaca sepanjang 2022, terdapat berbagai persoalan hukum pada ekonomi digital yang masih belum memadai khususnya pada aspek perlindungan data pribadi.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyampaikan tiga hal dalam ekonomi digital yang perlu dijadikan bahan evaluasi, yaitu inklusi digital dan keuangan, belum meratanya konektivitas internet dan infrastruktur digital dan belum memadainya perlindungan data pribadi.

Head of Economic Opportunities Research CIPS, Trissia Wijaya, menyebut perlindungan konsumen ekonomi digital, terutama terkait data pribadi, masih jauh dari harapan. Walaupun DPR sudah mengesahkan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP), yang mengatur persyaratan pemrosesan data dan hak pribadi. masih ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya terkait independensi lembaga tersebut.

Baca Juga:

Entitas yang memiliki atau mengolah data diberikan tenggang waktu dua tahun untuk mematuhi peraturan tersebut. Namun, ada kekhawatiran terhadap netralitas dan independensi lembaga pengawas perlindungan data yang akan ditunjuk oleh Presiden.

“Independensi lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden ini patut dipertanyakan saat mereka menangani masalah yang melibatkan lembaga pemerintah. Lembaga ini idealnya independen dan tidak berafiliasi dengan lembaga manapun,” jelasnya.

Penunjukan seperti itu menimbulkan risiko bahwa badan eksekutif dapat menjaga lembaga tersebut dengan ketat, mencegahnya bertindak tegas terhadap lembaga publik yang tidak patuh yang mengontrol dan memproses data pribadi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membuat peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut.

Selain itu, Trissia juga menyampaikan kesenjangan antara inklusi digital dan inklusi keuangan membuat peluang ekonomi belum dapat dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi 76 persen aktivitas dalam e-commerce. Sementara itu, aktivitas digital dari masyarakat di daerah non-metropolitan Indonesia, yang menampung 45 persen dari populasi negara, masih tertinggal tiga hingga lima tahun dari kota-kota besar.

Sekitar 12.500 desa di Indonesia masih belum memiliki koneksi 4G, yang mengakibatkan terbatasnya akses ke berbagai fitur online dan dompet digital yang mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar. Kesenjangan digital juga lebih banyak terjadi pada perempuan, yang rata-rata memperoleh tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Kesenjangan ini dapat dilihat dari Indeks Daya Saing Digital atau IMD di 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat 53 dari 63 negara, jauh lebih buruk daripada rekan-rekannya di Asia Tenggara. Kecepatan internet yang lambat dan penetrasi broadband yang rendah adalah beberapa rintangan utama.

Penetrasi fixed broadband baru menjangkau 15% rumah tangga di Tanah Air. Sementara masih ada 13 provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi, yang hampir tidak memiliki fixed broadband.

Trissia juga menyebut biaya untuk fixed broadband seluler mahal bagi sekitar 10,2% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan karena itu tidak mampu mengakses internet. Keterjangkauan dan ketersediaan infrastruktur TIK tetap menjadi tantangan.

“Peraturan dan kebijakan industri yang tidak jelas, insentif, kekhasan lokal seperti intervensi pemerintah daerah dan kepentingan sektoral, serta vandalisme cenderung menghalangi sektor swasta untuk berinvestasi. Ada kebutuhan untuk lebih banyak klarifikasi peraturan dan intervensi pemerintah pusat dalam hal ini,” tegas Trissia.

Tags:

Berita Terkait