Evolusi Hak Asuh Anak dalam Putusan-Putusan Hakim
Kolom

Evolusi Hak Asuh Anak dalam Putusan-Putusan Hakim

Perkembangan hak asuh anak berusaha menjaga keseimbangan antara hak orang tua dan kepentingan terbaik bagi anak.

Yurisprudensi dan SEMA

Perkembangan hak asuh anak dalam putusan hakim Indonesia mencerminkan pengaruh perubahan sosial terhadap pemikiran hukum. Misalnya yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001 menjadi salah satu pedoman para hakim di Pengadilan Negeri. Isinya memuat kaidah hukum, “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu”. Penyerahan anak di bawah umur fokus kepada orang terdekat, terutama ibu, dengan penekanan pada keberlanjutan ikatan emosional. Tercermin penekanan pada hubungan ibu-anak sebagai faktor utama dalam pemeliharaan anak.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/2007 juga menjadi pedoman lain bagi para hakim di Pengadilan Agama. Isinya memuat kaidah hukum, “Pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, dan bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. sekalipun si anak belum berumur 7 (tujuh) tahun, karena si ibu sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadlanah-nya diserahkan kepada ayahnya”.

Kaidah Yurisprudensi Nomor 110 K/AG/2007 itu menekankan pada kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi anak. Fakta-fakta hubungan anak baik dengan ibu maupun ayah diuji melalui beberapa instrumen, seperti bentuk perhatian, kasih sayang, kesediaan waktu, dan kenyamanan anak. Semua itu dinilai akan menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.

Hakim peradilan umum kembali mendapat pedoman baru dalam penentuan hak asuh melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017 bagian Perdata Umum-1.d. Isinya menentukan bahwa, “Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat”.

Pengaturan ini mengarah pada perubahan kaidah yang diatur sebelumnya dalam Yurisprudensi Nomor 126 K/Pdt/2001. Namun, isinya selaras dengan Yurisprudensi Nomor 110 K/AG/2007. Kedudukan ayah dan ibu dipandang setara dalam kaitannya dengan pengasuhan terhadap anak.

SEMA Nomor 1 Tahun 2017 mewajibkan hakim memperhatikan dua aspek. Pertama, menggali fakta pemenuhan tanggung jawab oleh ayah dan ibu terhadap anak. Fakta itu menilai baik saat sebelum atau setelah perselisihan keduanya terjadi. Kedua, mendengar keinginan anak itu sendiri. Anak berhak atas kenyamanannya dengan memilih diasuh oleh ayah atau ibunya.

Hal ini berlaku bagi anak yang sudah dapat melakukan komunikasi dengan baik untuk dihadirkan di persidangan. Hakim dapat pula melakukan pemeriksaan setempat pada kediaman anak. Tindakan ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman langsung terhadap kondisi dan situasi aktual tempat tinggal anak. Dengan demikian, putusan hakim dapat dibuat berdasarkan informasi yang lebih kontekstual dan akurat.

Hak memilih bagi anak diakui pula terhadap anak yang lahir dari perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Pasal 29 ayat 2Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur, ”Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya”.

Misalnya Putusan Kasasi 2948 K/Pdt/2019 yang membatalkan putusan judex facti karena memberikan hak asuh kepada ibu dengan dasar anak masih di bawah umur. Padahal dalam kenyataannya anak telah tinggal dan menetap bersama dengan ayahnya dan neneknya. Selain itu, keterangan anak menjelaskan lebih senang tinggal bersama dengan ayahnya. Pemindahan tiba-tiba pengasuhan menjadi oleh ibunya dikhawatirkan justru menyebabkan guncangan keadaan psikologis anak.

Pengaturan hak asuh anak dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017 untuk Pengadilan Agama juga masuk pada fase berikutnya. Rumusan Kamar Agama-C menentukan bahwa, “Dalam amar penetapan hak Asuh anak (hadhanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah”.

Pengaturan tersebut mengarah pada upaya untuk mengatasi kebuntuan setelah perceraian. Kerap kali orang tua yang mendapatkan hak asuh tidak memberikan akses kepada mantan suami/istrinya untuk bertemu dengan anak. Kondisi ini kerap kali menimbulkan konflik lebih lanjut. Padahal, Pasal 41 huruf a UU Perkawinan mengatur, “akibat terjadinya perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak”. Jelas bahwa kedua orang tua pada dasarnya tetap berkewajiban mendidik. Perbedaannya terletak pada pembagian waktu secara proporsional. Selain itu, SEMA Nomor 1 Tahun 2017 juga memberikan ruang kepada pihak yang keberatan mengajukan gugatan pencabutan hak asuh.

Misalnya pertimbangan dalam Putusan Nomor 17 PK/Ag/2022. Terungkap bahwa anak berada dalam asuhan ibunya dengan pemeliharaan dan tumbuh kembang baik. Oleh karena itu, demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) dan sesuai Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam maka hak pemeliharaan anak (hadhanah) diserahkan kepada ibu. Perintah dalam amar putusan menyebut—selama tidak mengganggu kesehatan, keselamatan dan pendidikan anak—ibu berkewajiban memberi akses kepada ayah untuk mencurahkan kasih sayang, bertemu, dan ikut mendidik anak.

Konvensi Hak Anak pada Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 12 menjadi dasar hukum untuk menilai kebijakan dan putusan hakim dalam hak asuh anak. Sejauh mana hakim mendukung hak partisipasi, hak identitas, dan kepentingan terbaik anak.

Yurisprudensi yang telah disebutkan tampak mencerminkan evolusi dan fokus sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak. Hal itu terutama pada hubungan emosional menuju pertimbangan yang lebih holistik dan kontekstual. SEMA sendiri merespon perubahan sosial dan budaya dengan memberikan fleksibilitas penentuan hak asuh. Terjadi pergeseran paradigma dari pandangan yang lebih tradisional menjadi pendekatan yang lebih progresif. Tentu saja dengan memprioritaskan kepentingan dan hak-hak anak.

Perlindungan Warga Negara

Ada pula Putusan Kasasi Nomor 2021 K/Pdt/2020 mempertimbangkan keadaan khusus dalam hak asuh anak. Terungkap perjanjian antara Penggugat dan Tergugat mengenai pembagian waktu hak asuh anak. Namun, hakim kasasi mengesampingkan perjanjian tersebut.

Dalam pertimbangannya, hakim kasasi menyorot perjanjian tentang pembagian waktu hak asuh cocok pada saat tinggal di Amerika Serikat. Namun, terjadi kondisi khusus tempat tinggal Penggugat di Amerika Serikat dan Tergugat beserta anak di Indonesia. Hakim mengakui bahwa pelaksanaan perjanjian akan sulit dilakukan karena jarak geografis yang signifikan antara kedua tempat tinggal tersebut.

Putusan kasasi lalu menegaskan tanggung jawab negara dan Pemerintah untuk melindungi warga negara, terutama dalam konteks hak asuh anak di bawah umur. Hakim menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warganya meski telah ada perjanjian—yang berlaku sebagai undang-undang— antara para pihak. Oleh karena itu, putusan hakim menempatkan anak di bawah pengasuhan Tergugat yang merupakan ibunya.

Putusan kasasi ini adalah pembaruan hukum. Terlihat bahwa faktor khusus seperti lokasi geografis dapat menjadi pertimbangan penentu hak asuh anak. Perlindungan dan kepentingan anak juga diutamakan di atas perjanjian yang telah disepakati. Dengan demikian, putusan kasasi memberikan penyesuaian berdasarkan keadaan konkret dalam kasus.

Perkembangan hak asuh anak dalam putusan hakim mencerminkan kompleksitas hukum. Ada variasi prinsip mulai dari fokus pada ikatan emosional dengan ibu hingga penekanan pada kesejahteraan anak. Setiap kasus perceraian menantang hakim untuk menyelaraskan sistem hukum dengan perubahan sosial. Proses hukum berusaha menjaga keseimbangan antara hak orang tua dengan perlindungan terbaik bagi anak.

Fleksibilitas semakin diperhitungkan dalam mempertimbangkan kepentingan anak dan situasi individual. Meski belum ada kesepakatan universal, penekanan pada kepentingan terbaik anak membuka ruang pertimbangan yang lebih luas dan kontekstual. Harapan terletak pada evolusi pemikiran hukum yang menyelesaikan konflik hak asuh anak dengan berfokus pada kesejahteraan anak.

*)Dr.Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. (Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung) dan Muqtadir Ghani Putranto, S.H. (Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait