Expedited Procedures dan Early Dismissal, Solusi untuk Sengketa Arbitrase Internasional di Masa Covid-19?
Berita

Expedited Procedures dan Early Dismissal, Solusi untuk Sengketa Arbitrase Internasional di Masa Covid-19?

Sikap bijak menakar risiko keberatan atas due process of law perlu dipertimbangkan kasus per kasus.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyelesaian sengketa antara para pihak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penyelesaian sengketa antara para pihak. Ilustrator: HGW

Tidak berlebihan kiranya menyebut Covid-19sebagai bencana komersial, bukan semata persoalan kesehatan. Kontrak-kontrak yang begitu sulit ditunaikan di masa pandemi ini  menggiring para pihak untuk melakukan renegosiasi kontrak, atau memilih opsi bersengketa ke forum penyelesaikan yang disepakati: pengadilan atau lembaga arbitrase. Potensi sengketa besar karena tidak diketahui pasti kapan pandemi ini berakhir. Alhasil, ada problematika pilihan antara kepastian dan kecepatan dalam menyelesaikan sengketa hukum itu serta bagaimana suatu due process of law telah dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Alih-alih memandang Covid-19sebagai hambatan, SIAC BoD sekaligus partner pada firma hukum Allen & Gledhill LLP, Chong Yee Leong justru melihat banyak peluang inovasi penanganan arbitrase yang bisa dilakukan dalam situasi ini. Dalam diskusi webinar ‘Minimising the Impact of Covid-19 on Arbitration: a Guide for Councel and Arbitrators’, Selasa (14/4) lalu, Chong menjelaskan secara tidak sadar, Covid-19 telah memaksa kita untuk berfikir soal efisiensi proses, waktu dan biaya pelaksanaan arbitrase. Ada beberapa proses yang kurang penting bisa dipotong sehingga dari segi biaya juga bisa ditekan.

Misalnya, melalui teknologi para pihak bisa mengubah kebiasaan penggunaan dokumen hard copy yang perlu dicetak, dijemput atau dikirimkan langsung menjadi dokumen electronik atau dalam bentuk digital copy. Perlahan para pihak juga bisa menjadi lebih nyaman menggelar pembelaan para pihak (hearing) via computer. Selama ini, pemeriksaan silang dan pemeriksaan bukti-bukti secara tatap muka kerap membuat banyak pengacara gugup (nervous)dari segi performa pembelaan. Keterpaksaan untuk beralih dari penanganan sengketa yang cara lama menuju basis teknologi modern di masa Covid-19 mampu mengubah cara orang bekerja. “Perubahan mindset menjadi sangat penting agar terbiasa berfikir soal inovasi,” tukasnya.

(Baca juga: Inovasi dan Tantangan Amandemen SIAC Rules 2016).

Berbicara soal inovasi, Expedited Procedure (EP) dipandang Chong sebagai inovasi yang sudah lama dikembangkan SIAC dan sangat cocok dipakai dalam situasi Covid-19. Melalui EP, penyelesaian perkara bisa dilakukan hanya melalui pemeriksaan dokumen. Itu pun dapat di-submit secara elektronik. Timeline penyelesaian perkara pun bisa lebih singkat. Manfaat lain, early dismissal of claims and defences atau meminta arbitral tribunal mengeluarkan putusan sela (untuk menolak suatu klaim atau pembelaan pada tahap awal proses persidangan) bisa menjadi opsi yang tepat untuk mempersingkat waktu penyelesaian sengketa. “Jadi, procedural tools seperti EP dan early dismissal of claims and defences ini sangat ideal untuk diterapkan pada masa Covid-19, sengketa bisa diselesaikan lebih cepat dan efisien,” katanya.

Sekadar kilas balik, Associate counsel SIAC, Kendista Wantah pernah menjelaskan kepada hukumonline bahwa Expedited Procedure (EP) dikenal juga sebagai fast-track arbitration process (penyelesaian perkara secara cepat dan hemat biaya). Sengketa yang tadinya butuh 9-18 bulan untuk sampai pada putusan akhir, bisa dipangkas menjadi 6 bulan melalui EP. Hanya enam bulan sejak majelis dibentuk, putusan akhir harus sudah keluar. Penggunaan EP ini diketahui cukup populer, sejak diperkenalkannya pada 2010. Hingga kini sebanyak 534 EP didaftarkan di SIAC.

Inti pemangkasan pada EP ada pada deadline putusan. Pasal 5 SIAC Rules memungkinkan pemeriksaan perkara murni berbasiskan dokumen. Tidak diperlukan lagi pelaksanaan sidang secara tatap muka termasuk pemeriksaan saksi dan ahli. Perumusan putusan dilakukan secara ringkas dan sederhana (summary decision).

Pada prinsipnya, Member & Arbitrator SIAC Court of Arbitration, Toby Landau setuju dengan Chong, bahwa pandemi ini bisa dijadikan dorongan untuk improvisasi penanganan sengketa arbitrase internasional, melalui procedural tools SIAC seperti EP dan early dismissal. Inovasi yang dikembangkan saat Covid-19 dapat menjadi sebuah ‘yurisprudensi’ baru terkait apa yang dimaksud reasonable hearing berikut keabsahan implementasi dan batasan pelaksanaannya.

Catatan penting yang harus dipikirkan matang adalah munculnya di kemudian hari (saat kondisi sudah mulai normal) terkait risiko keberatan dari para pihak yang kalah atas pelaksanaan arbitrase di masa Covid-19 yang dianggap tidak sesuai dengan due process of law (proses hukum yang baik, benar dan adil). “Ujungnya berakhir dengan munculnya banyak perlawanan atas arbitral award di pengadilan, apakah status award itu nantinya bakal diakui dan mungkin saja eksekusi putusan arbitrasenya menjadi lebih sulit,” jelasnya.

(Baca juga: Putusan SIAC Tidak Bisa Dibatalkan di Indonesia).

Untuk itu, setiap proses dan keputusan penyelesaian sengketa yang akan diambil dianjurkannya dilakukan tahap demi tahap. Landau juga mengingatkan untuk tidak menyamakan perlakuan terhadap satu kasus dengan kasus lainnya dalam menggunakan SIAC procedural tools seperti EP dan Early dismissal/Deffence. Dalam kasus tertentu mungkin bisa berdampak, namun tidak begitu dengan kasus lainnya. Jadi harus dilihat betul kasus per kasus secara teliti.

Ia mengingatkan agar jangan terlalu menggeneralisasi perlakuan hukum dalam kondisi saat ini, karena kebijakan masing-masing yurisdiksi menghadapi Covid-19 berbeda-beda, baik dari segi tahap maupun jenis pembatasan (jenis kedaruratan) yang diberlakukan. “Sangat berbahaya dan berisiko dalam kondisi seperti ini untuk memberikan satu jawaban untuk menjawab semua persoalan (one purpose answer),” tegasnya.

Temukan/Nikmati Akses Tanpa Batas Koleksi Peraturan Perundang-undangan dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait