FPI Jadi Pihak Terkait Pengujian Kawin Beda Agama
Utama

FPI Jadi Pihak Terkait Pengujian Kawin Beda Agama

Pemerintah menganggap kawin beda agama dapat menimbulkan kerawanan dan gejolak sosial.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Para pemohon pengujian UU Perkawinan. Foto: RES
Para pemohon pengujian UU Perkawinan. Foto: RES
Pemerintah menganggap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak untuk menghakimi, memaksa, membatasi atau melanggar hak asasi warga negara yang untuk hendak melakukan perkawinan beda agama. Justru, ketentuan itu telah memberi penghormatan, perlindungan, dan kepastian hukum terhadap setiap orang yang akan melangsungkan pernikahan.

“Jika permohonan ini dikabulkan dapat menimbulkan disharmoni antara keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan antar umat beragama serta kerawanan dan gejolak sosial di masyarakat yang mayoritas beragama Islam,” ujar Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM Kementerian Agama, Machasin. Ia mewakili pemerintah dalam sidang pengujian UU Perkawinan  di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/10).

Sebelumnya, mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan itu, berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan. Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.

Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, ada permintaan agar MK membuat tafsir.

Machasin menilai permohonan ini tidak terkait dengan persoalan keabsahan/sahnya perkawinan. Dalil permohonan atas pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dan pasal-pasal batu ujinya sangat terkait erat dengan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, kepastian dan persamaan di muka hukum, perlakuan yang tidak diskrimatif, penghomatan nilai-nilai HAM, dan hak membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan.

“Para pemohon tidak memahami, mendalami, dan meresapi esensi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan wanita membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa,” tutur Machasin dalam sidang pleno yang dipimpin Hamdan Zoelva.

Pemerintah berpandangan perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian (agama) untuk membentuk keluarga yang bahagia dan melanjutkan keturunan. Ikatan perkawinan pun tidak semata-mata ikatan perjanjian perdata saja, tetapi memuat di dalamnya nlai-nilai religius yakn hubungan antara manusia dan Tuhan. Karenanya, peristiwa perkawinan sangat sakral.

“Perkawinan juga bentuk perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus dihormati, dilindungi yang justru dijamin Pasal 28B ayat (1). Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan juga telah sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” lanjutnya.

Pemerintah meminta agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak perlu diberikan tafsir kembali oleh MK baik melalui putusan bersifat conditionally constitutional maupun unconditionally constitutional. “Menolah permohonan pengujian para pemohon dengan menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan UUD 1945.

Pandangan FPI
Selain mendengarkan pemerintah, MK juga mendengarkan keterangan pihak terkait yakni Front Pembela Islam (FPI).   Dalam pandangannya, FPI menilai pola pikir permohonan yang diajukan empat mahasiswa dan alumni FHUI ini super ngawur. “Jika mengikuti pola pikir para pemohon yang super ngawur, bukan hanya norma agama yang ditabrak melainkan tata cara atau adat istiadat pernikahan setiap suku-suku di Indonesia menjadi tidak berarti,” kata kuasa hukum FPI, Mirza Zulkarnaen.

Menurut FPI, secara filosofis Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah meletakkan norma agama berdasarkan Ketuhanan di atas aturan hukum negara dan memberikan kebebasan setiap orang untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD.

“Jika dua orang berbeda jenis kelamin ingin melangsungkan perkawinan haruslah memilih salah satu agama untuk pengesahannya demi menjaga dan mengantisipasi terjadi pertentangan dan perselisihan antara umat beragama,” katanya. “Jika tidak ada Pasal 2 ayat (1), pernikahan cukup dengan perjanjian perdata biasa, dapat dikualifisir pernikahan versi pemohon adalah kumpul kebo,” kritiknya.

Dia juga menilai permohonan ini justru merusak ketetapan dan aturan yang bersifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan. di negara yang paling sekuler sekalipun seperti Amerika Serikat pernikahan tetap dilakukan di Gereja dengan aturan gereja dan negara hanya mencatat secara administrasi.

FPI khawatir jika MK mengabulkan permohonan ini bukan hal mustahil dalam kesempatan lain memberi jalan keluar untuk mengabulkan untuk melegalkan pernikahan dengan sesama jenis. Untuk itu, FPI meminta MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Fasilitator
Usai persidangan, salah satu pemohon Damian Agata Yuvens menegaskan tujuan pengajuan judicial review ini untuk memposisikan negara pada tempatnya yang seharusnya sebagai sebagai fasilitator, bukan sebagai hakim yang langsung dapat memutus keabsahan perkawinan. Misalnya, ketika pegawai pencatat perkawinan langsung menolak pasangan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan.

“Pegawai perkawinan biasanya melihat KTP, ketika menemukan perbedaan agama lantas dia mengatakan Sauadara tidak dapat melaksanakan perkawinan,” kata Damian. “Ini bentuk penghakiman dari negara terhadap perkawinan. Seharusnya negara hanya menjalankan kewajiban sebagai fasilitator, seperti disampaikan FPI negara sebagai pencatat, tetapi kenyataannya negara telah menghakimi,” sambungnya

Karena itu, pemohon meminta MK menafsirkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang dimaknai, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sepanjang dimaknai penafsiran hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai.”

“Konteksnya, perkawinan tetap didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan yang didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, tidak ada intervensi negara dalam menentukan hukum agama/kepercayaan yang mana yang sah terkait perkawinan beda agama”.
Tags:

Berita Terkait