Gempa Bumi Merupakan Peristiwa Hukum? Begini Penjelasannya
Terbaru

Gempa Bumi Merupakan Peristiwa Hukum? Begini Penjelasannya

Peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi kondisi yang diakibatkan gempa bumi. Foto: RES
Ilustrasi kondisi yang diakibatkan gempa bumi. Foto: RES

Gempa tektonik dengan magnitudo 6,6 berpusat di lokasi 7,01 LS,105,26 BT atau 52 km barat daya Sumur, Provinsi Banten dengan kedalaman 10 km, yang terjadi Jumat (14/1) sore, mengejutkan masyarakat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten mencatat 738 unit rumah rusak di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, akibat gempa. Dari 738 bangunan rumah yang  rusak terdiri atas rusak berat 164 unit, 413 unit rusak ringan, dan 170 unit rusak sedang.

BPBD Lebak hingga saat ini masih melakukan pendataan korban gempa karena tidak tertutup kemungkinan banyak kerusakan tempat tinggal masyarakat. Ia mengatakan petugas dan relawan terus melakukan pemantauan di lapangan termasuk menerima laporan dari desa dan kecamatan terkait dengan dampak gempa tersebut. Rumah dan sekolah yang rusak itu tersebar di 15 kecamatan.

Hingga saat ini, pihaknya belum menerima laporan adanya korban jiwa dalam peristiwa tersebut. "Kami terus bekerja untuk menerima laporan kerusakan rumah akibat gempa tektonik itu," katanya seperti dilansir Antara. (Baca Juga: Melihat Kembali POJK Relaksasi Kredit bagi Korban Bencana Alam)

Timbul pertanyaan apakah gempa termasuk peristiwa hukum? Dijelaskan dalam Klinik Hukumonline, mengutip penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. dalam bukunya “Ilmu Hukum” (hal. 35), peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum, sehingga secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Peristiwa hukum ini sendiri terdiri dari; keadaan baik alamiah, kejiwaan maupun sosial; kejadian baik keadaan darurat, kelahiran/kematian maupun kadaluwarsa; sikap dalam tindakan hukum, baik itu menuruti peraturan hukum maupun melanggar hukum, baik itu di bidang administrasi negara, tata usaha negara, perdata maupun pidana.

Banjir dan gempa bumi adalah termasuk force majeure yaitu kejadian atau keadaan yang terjadi di luar kuasa para pihak berkepentingan yang dapat juga disebut keadaan darurat. Force majeure ini biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya.

Force majeure sendiri merupakan peristiwa hukum karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum misalkan karena dengan terjadinya banjir atau gempa membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainnya. Dengan kata lain, banjir atau gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa adalah peristiwa hukum. Klausul force majeur ini biasanya diatur dalam perjanjian.

Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Disarikan dari buku “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa” oleh Rahmat S.S. Soemadipradja, hal. 99 dan 101 maka bisa dibilang peristiwa atau ruang lingkup force majeure yang tersirat dalam pasal-pasal tersebut meliputi tiga hal. Pertama peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi, kedua kebakaran, ketiga musnah atau hilangnya barang objek perjanjian.

Sementara subyek hukumnya yaitu semua manusia, termasuk janin, bayi dan orang yang sakit ingatan adalah subyek hukum. Karena subyek hukum terdiri dari pribadi kondrati yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum yang bisa saja berupa keutuhan harta kekayaan seperti wakaf, bentuk susunan relasi seperti perseroan terbatas dan koperasi (badan hukum) dan tokoh yang dikorelasikan seperti pewaris dan ahli waris dalam hukum kewarisan. 

Jadi, baik janin, bayi maupun orang sakit ingatan adalah termasuk subyek hukum tanpa kecuali. Contohnya dapat kita lihat pada Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai janin yang masih dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Yang membedakan adalah janin di dalam kandungan, bayi dan orang sakit ingatan tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri.

Tags:

Berita Terkait