Grasi Berkali-kali ‘Hambat’ Eksekusi Putusan
Berita

Grasi Berkali-kali ‘Hambat’ Eksekusi Putusan

Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.”

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat menolak uji materi Pasal 2 ayat (3)  UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang memohonkan Su’ud Rusli dan Boyamin Saiman. Intinya, MK menganggap aturan permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali ini tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 32/PUU-XIV/2016.

Sebelumnya, Para Pemohon menilai Pasal 2 ayat (3) UU Grasi menghalangi hak konstitusionalnya ketika akan mengajukan permohonan grasi kedua kalinya kepada presiden. Pemohon merasa Pasal 2 ayat (3) UU Grasi tidak dapat memberikan pembelaan maksimal akibat adanya aturan pembatasan pengajuan grasi yang hanya satu kali.

Menurut pemohon, pasal itubertentangan dan tidak sesuai dengan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya. Tetapi, dalam putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015 yang dibacakan sebelumnya, permohonan Su’ud Rusli dkk dikabulkan. MK menghapus berlakunya Pasal 7 ayat (2) UU Grasi terkait pembatasan jangka waktu pengajuan grasi ke presiden selama 1 tahun sejak putusan inkracht. Artinya, MK “membebaskan” terpidana mengajukan permohonan grasi kapan saja.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai jika permohonan grasi boleh diajukan lebih dari sekali seperti dikehendaki Pemohon dengan argumentasi lebih mencerminkan keadilan, tidaklah memberi kepastian hukum. Saat yang sama membuat makna grasi itu sendiri sebagai pengampunan yang pengabulan atau penolakannya sepenuhnya di tangan Presiden menjadi tidak jelas. Sebab, logikanya permohonan grasi diajukan lebih dari satu kali hanya mungkin terjadi apabila permohonan grasi sebelumnya ditolak.

Dengan begitu, penolakan Presiden terhadap permohonan grasi seseorang secara hukum tidak akan bermakna apapun. Sebab, akan selalu terbuka kesempatan bagi orang yang bersangkutan  mengajukan kembali permohonan yang sama hingga permohonan dikabulkan . Jika demikian halnya, masihkah grasi itu bermakna, khususnya bagi kebaikan umum (common good)?

“Setiap permohonan grasi berarti harus dikabulkan. Bila itu yang dimaksud, lantas di mana letak keistimewaan hak Presiden yang melekat makna prerogratif yang berarti istimewa itu? Dari perspektif keadilan, keadaan demikian sama sekali tidak dapat dikatakan adil,” demikian bunyi pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah salah satu alasan yang sulit dibantah keadaan ini dapat dijadikan alasan hukum untuk menunda pelaksanaan atau eksekusi putusan hakim yang telah berkekuataan hukum tetap. Soalnya, eksekusi tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan karena sedang diajukan permohonan grasi untuk kali kedua, kali ketiga, kali keempat, dan seterusnya.

“Bila keadaan demikian dianggap adil, quod non, hal itu bukan hanya meniadakan kepastian hukum sebagai prinsip dasar negara hukum, tetapi menjadikan hukum itu sendiri kehilangan hakikatnya sebagai tertib normatif sekaligus  instrumen untuk mengadili”.

Namun, bagi Mahkamah seluruh argumentasi ini tentu tidak berlaku terhadap permohonan grasi yang ditolak karena pertimbangan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana alasan lewat waktu seperti yang telah diputus dalam Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015 tanggal 15 Juni 2016.

Menurut pemohon, permohonan grasi hanya dapat diajukan sekali bertentangan atau tidak sesuai dengan kewajiban negara melindungi segenap bangsa Indonesia, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan hak atau kekuasaan Presiden memberikan grasi. Kewajiban melindungi segenap bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 dimaksud tidak dapat diartikan kewajiban melindungi pihak-pihak yang oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.”

Su’ud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan Dirut PT Asaba Budyharto Angsono, yang pengajuan grasi pada 2014 pernah ditolak Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015 yang baru diterima pada 8 Oktober 2015. Bagi Su'ud, hak pengajuan grasi kepada presiden sebagai kepala negara ini seharusnya tidak boleh dibatasi jangka waktunya dan dibatasi sekali karena bertentangan dengan prinsip keadilan (sense of justice) yang dijamin UUD 1945.

Su’ud sudah menjalani hukuman selama kurang lebih 12 tahun. Kini ia masih mendekam di Lapas Porong Sidoarjo sejak 2008. Sebelumnya, eks Marinir berpangkat Kopral Dua ini dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Februari 2005 lantaran dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Asaba Budyharto Angsono pada 2003.

Putusan itu dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Agustus 2005 dan putusan Mahkamah Agung No. PUT/34-K/MIL/2006 Pid/2010 tanggal 07 Juli 2006.Su’ud tercatat pernah melarikan diri di masa awal perkara, yang mengaku semata-mata perlakuan yang tidak manusiawi (petugas Rutan Militer), dikencingi oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kepada Majelis, Su’ud mengaku perkara pembunuhan terjadi semata-mata atas pengaruh dan perintah atasan yaitu Letda Syam Ahmad Sanusi. Pemohon dikenakan sanksi pidana tersebut dikarenakan dirinya tidak pernah berani mengungkapkan peristiwa sebenarnya. Dia berharap pengajuan grasi yang diajukan tahun 2014 bisa dikabulkan presiden agar tetap diberi kesempatan mengabdi dan berbakti kepada negara.
Tags:

Berita Terkait