Gubernur Lemhannas: Pancasila Lemah Karena Terlalu Bergantung pada Hukum Tertulis
Berita

Gubernur Lemhannas: Pancasila Lemah Karena Terlalu Bergantung pada Hukum Tertulis

Perlu upaya penguatan Pancasila melalui hukum tidak tertulis. Salah satu caranya dengan internalisasi dalam pendidikan masyarakat.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Kalitbang Kemendikbud Totok Supriyanto (kedua kiri), Gubernur Lemhannas Agus Widjojo (tengah), Dewan Pengarah BPIP Syafii Ma'arif (kedua kanan) dan Romo Benny Susetyo (kanan) saat menjadi pembicara diacara talkshow dalam pembukaan Simpusium Nasioanl dengan mengagkat tema Institusionalisasi Pancasila Dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta (30/7). Simpusium yang diadakan oleh Badan Keahlian (BK) DPR RI dan Badan Pembinaan Ideologi Panjasila tersebut dibuka oleh Wakil Keta DPR RI Koordinator bidang Akuntabilitas Keuangan Negara dan Badan Urusan Rumah Tangga Utut Adianto. Foto: RES
Kalitbang Kemendikbud Totok Supriyanto (kedua kiri), Gubernur Lemhannas Agus Widjojo (tengah), Dewan Pengarah BPIP Syafii Ma'arif (kedua kanan) dan Romo Benny Susetyo (kanan) saat menjadi pembicara diacara talkshow dalam pembukaan Simpusium Nasioanl dengan mengagkat tema Institusionalisasi Pancasila Dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta (30/7). Simpusium yang diadakan oleh Badan Keahlian (BK) DPR RI dan Badan Pembinaan Ideologi Panjasila tersebut dibuka oleh Wakil Keta DPR RI Koordinator bidang Akuntabilitas Keuangan Negara dan Badan Urusan Rumah Tangga Utut Adianto. Foto: RES

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila seharusnya juga dibina lewat instrumen hukum tidak tertulis yang dihidupkan di masyarakat. Dalam Simposium Nasional “Institusionalisasi Pancasila dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan”, Senin (30/7), di Jakarta, ia menjelaskan bahwa penanaman nilai Pancasila di masyarakat terlalu bergantung pada berbagai produk hukum tertulis.

 

“Hukum tertulis di sini (Indonesia-red) jauh mengalahkan hukum tidak tertulis, andalan kita adalah hukum tertulis,” kata Agus.

 

Ia menilai berbagai upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila selama ini seolah mengandalkan berbagai hukum tertulis terutama yang diproduksi parlemen. Padahal ada berbagai cara yang lebih cepat bersentuhan langsung dengan masyarakat melalui hukum tidak tertulis.

 

“Kita sebetulnya terlambat untuk membina hukum tidak tertulis, agak terabaikan,” katanya.

 

Menurut Agus, selama ini berbagai perbincangan soal Pancasila belakangan ini menunjukkan bahwa Pancasila belum benar-benar dirasakan mengakar, apalagi dipahami substansinya. Berbagai program kursus berjam-jam soal Pancasila di masa orde baru hingga berbagai pencantuman asas Pancasila dalam undang-undang seolah tidak berdampak.

 

Sebagai nilai-nilai yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia jauh sebelum deklarasi kemerdekaannya, Pancasila seolah asing dari kehidupan bermasyarakat. Padahal, seharusnya Pancasila terus tumbuh subur di masyarakat.  “Pancasila dalam bentuk konkret adalah kemampuan hidup dalam kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa yang berketuhanan,” ujarnya.

 

Dalam simposium ini Agus mengulas soal Pancasila sebagai sumber hukum tertulis dan tidak tertulis di dalam sistem hukum Indonesia. Ia melihat upaya menghidupkan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur kepribadian bangsa terlalu sering melekat pada jargon dan teks dalam hukum tertulis.

 

(Baca Juga: Pembentukan Peraturan dan UU Harus Mencerminkan Pancasila)

 

Ia mencontohkan bagaimana masyarakat di Jepang memiliki hukum tidak tertulis yang sangat kuat menanamkan nilai-nilai kebudayaan meskipun tidak diwujudkan dalam hukum tertulis. Untuk itulah ia berharap agar upaya menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bergantung pada institusionalisasinya dalam teks-teks hukum tertulis.

Tags:

Berita Terkait