Guru Besar dan Legislator Ini Kritik RUU Cipta Kerja Sektor Agraria
Berita

Guru Besar dan Legislator Ini Kritik RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

Tumpang tindih regulasi di sektor sumber daya alam (SDA) harus dibenahi lebih dulu dengan mengacu TAP MPR No.9 Tahun 2001. Pemerintah diminta mengkaji kembali persoalan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS

Pemerintah berupaya mendorong masuknya investasi dengan menerbitkan sejumlah kebijakan antara lain menyederhanakan regulasi melalui mekanisme omnibus law. Salah satunya, RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja ini mengubah/menghapus beberapa ketentuan dalam sejumlah UU terkait sektor agraria.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Prof Maria SW Sumardjono menilai RUU Cipta Kerja ini tidak pas antara judul dengan konsiderannya yang memberi karpet merah terhadap investasi. Maria mengingatkan setiap investasi pasti membutuhkan lahan dan sumber daya alam (SDA). Selain itu, investor perlu regulasi yang efisien dan tertata.

 

“Tapi kebutuhan investor itu tidak terjawab dalam RUU Cipta Kerja, khususnya terkait sektor SDA dan agraria,” kata Prof Maria dalam diskusi di Jakarta, Rabu (26/2/2020).   

 

Menurutnya, untuk membenahi persoalan tumpang tindih regulasi dan perizinan guna meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu mengacu TAP MPR No.9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. “Belum lagi, ada sekitar 26 UU yang tumpang tindih di sektor SDA,” kata dia. Baca Juga: Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

 

Jika persoalan itu tidak dibenahi, Maria menilai RUU Cipta Kerja akan meningkatkan konflik agraria dan SDA serta alih fungsi lahan. RUU Cipta Kerja mempercepat proses pengadaan lahan dengan dalih kepentingan umum. Misalnya, untuk pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK) dan pariwisata. “Tapi kenapa proses pengadaan lahan itu tidak memasukan program reforma agraria? Ini akan menambah ketidakadilan,” sebutnya.

 

Maria mencontohkan di Afrika Selatan, reforma agraria masuk dalam kategori kepentingan umum, sehingga pengadaan lahan untuk reforma agraria tergolong prioritas. Berbeda dengan RUU Cipta Kerja yang mengutamakan investasi tanpa memperhatikan persoalan selama ini di sektor agraria. Maria juga menyayangkan perubahan Pasal 44 UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang menghapus syarat untuk alih fungsi lahan, seperti harus dilakukan kajian kelayakan strategis.

 

RUU Cipta Kerja juga memuat ketentuan yang membentuk bank tanah. Padahal, sebagaimana diketahui bank tanah merupakan salah satu pasal yang ditolak masyarakat dalam RUU Pertanahan yang berujung pengesahannya ditunda. Begitu pula dengan ketentuan yang membolehkan warga negara asing memiliki satuan rumah susun dengan status HGB. Padahal, dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ditegaskan WNA hanya boleh mengantongi hak pakai.

 

“Jika RUU Cipta Kerja tujuannya untuk menyederhanakan regulasi dan perizinan, apa hubungannya dengan bank tanah dan WNA boleh punya apartemen? Ini tidak relevan,” kritik Maria.

 

Harus mengkaji kembali

Anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah menilai tidak tepat jika RUU Cipta Kerja hanya mengatur soal investasi. Menurutnya, RUU yang sudah diserahkan ke DPR pada 12 Februari 2020 ini, utamanya harus membenahi persoalan tumpang tindih regulasi. “Tapi saya lihat sejak awal kok arahnya hanya bagaimana agar investor itu happy,” kritiknya.

 

Menurut Luluk, setiap kebijakan yang diterbitkan pemerintah harus memperhatikan perlindungan lingkungan hidup. Sebab, lingkungan hidup penting bukan hanya untuk saat ini, tapi juga generasi mendatang. Jika RUU Cipta Kerja hanya mengedepankan investasi dan pertumbuhan ekonomi, ini tidak ubahnya seperti masa orde baru.

 

Dia mengingatkan pemerintahan Jokowi pernah menerbitkan kebijakan bebas visa lebih dari 100 negara untuk mengejar target 50 juta kunjungan wisatawan asing. Kendati bebas visa itu diberikan, tapi faktanya target itu tidak tercapai. “Ini artinya kemudahan yang diberikan tidak otomatis mendorong wisatawan masuk ke Indonesia,” ujarnya member contoh.

 

Luluk menekankan RUU Cipta Kerja harus mengutamakan pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. RUU Cipta Kerja melemahkan sanksi pidana dan menghapus banyak perizinan termasuk izin lingkungan. Luluk khawatir investasi yang akan masuk ke Indonesia bukan investasi yang ramah, tapi merusak.

 

Karena itu, Luluk meminta agar pemerintah harus mengkaji kembali persoalan yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi. Bisa jadi persoalan ini terjadi karena aparat dan birokrasinya yang bermasalah, sehingga harus dibenahi secara komprehensif.

Tags:

Berita Terkait