Guru Besar Ini Kritisi Kekeliruan Strict Liability dan Sanksi dalam RUU Cipta Kerja
Berita

Guru Besar Ini Kritisi Kekeliruan Strict Liability dan Sanksi dalam RUU Cipta Kerja

Beberapa persoalan RUU Cipta Kerja sektor lingkungan hidup diantaranya penyederhanaan tidak rasional dari naskah akademik, kompleksitas pengaturan, penghapusan izin lingkungan, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum, pelemahan peran pemerintah daerah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Jika pemerintah dan DPR tetap ngotot mengutamakan sanksi administratif dalam RUU Cipta Kerja, Andri mengusulkan agar dilakukan reformulasi defenisi “paksaan pemerintah” atau “uang paksa” sebagai sanksi administratif yang bersifat memulihkan pelanggaran. Kemudian “denda administratif” sebagai sanksi administratif yang bersifat menghukum.

Memunculkan persoalan

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wahyu Yun Santoso, mencatat sedikitnya ada 6 persoalan RUU Cipta Kerja terkait sektor lingkungan hidup. Pertama, penyederhanaan yang tidak rasional mulai dari naskah akademik. Kedua, kompleksitas adaptasi pengaturan. Ketiga, penghapusan izin lingkungan atas nama  “kemudahan berusaha.” Keempat, pelemahan substansi dampak lingkungan. Kelima, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum. Keenam, pelemahan peran pemerintah daerah.

Wahyu menilai perizinan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 sudah relatif baik karena izin lingkungan mengintegrasikan berbagai izin. Izin lingkungan berfungsi sebagai penapisan awal terhadap dampak lingkungan. Karena itu, sebelum mengantongi izin usaha, perusahaan harus terlebih dulu mengurus amdal dan izin lingkungan. “Izin lingkungan itu sebagai pengunci sebelum terbit izin usaha,” paparnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Nadia Astriani, berpendapat melalui RUU Cipta Kerja pemerintah akan menerbitkan banyak diskresi untuk memuluskan jalannya investasi. Tapi pandangan pemerintah terhadap pembangunan menjadi sangat sempit karena fokusnya hanya ekonomi.

Menurut Nadia, fungsi perizinan setidaknya ada 5 hal. Pertama, perencanaan, misalnya dimana lokasi yang boleh atau tidak untuk dilakukan kegiatan usaha. Kedua, pengendalian yakni mana kegiatan usaha yang boleh dan tidak serta persyaratannya. Ketiga, pemanfaatan, mengatur sejauh mana SDA yang boleh digunakan. Keempat, pengawasan, merupakan kewajiban pemerintah setelah menerbitkan izin. Kelima, anggaran, misalnya pemberian izin merupakan pemasukan bagi pemerintah daerah. Hal ini rawan diselewengkan dan di beberapa daerah izin limbah dan lahan diobral karena memberi pemasukan bagi daerah.

RUU Cipta Kerja mengatur hal baru terkait bentuk perizinan yaitu persetujuan, standar, dan pernyataan. Selama ini hanya ada 5 bentuk perizinan yang dikenal yaitu izin, dispensasi, lisensi, konsesi, dan rekomendasi yang semuanya menimbulkan akibat hukum. Tapi bentuk perizinan baru yang diatur RUU Cipta Kerja memunculkan persoalan bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dan pengawasannya.

Soal izin lingkungan yang dicabut melalui RUU Cipta Kerja, Nadia menegaskan izin lingkungan mengintegrasikan sejumlah izin. Jika mau menyederhanakan prosesnya, Nadia mengusulkan sejumlah perizinan terkait seperti limbah dan lain-lain perlu dimasukan dalam izin lingkungan, bukan malah menghapus izin lingkungan.

“Proses izin lingkungan relatif membutuhkan waktu yang lama karena minim data. Konsultan harus turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Data sangat dibutuhkan untuk menyusun dokumen lingkungan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait