Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz Tak Selamanya Jatuh ke Tangan Ibu
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz Tak Selamanya Jatuh ke Tangan Ibu

Pertimbangannya cenderung pada ketidakmampuan ibu dalam mengawasi, memelihara, mendidik dan mensejahterakan si anak. Namun tak menghilangkan hak ibu untuk memelihara dan mendidik anaknya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
ilustrasi
ilustrasi

Perceraian orang tua menjadi momok bagi anak-anaknya yang semestinya mendapat kasih sayang penuh dari keduanya. Perceraian orang tua pun berdampak terhadap psikologis anak sekaligus dampak hukum terhadap hak asuh anak. Sebab, dalam setiap gugatan perceraian/cerai talak, kedua belah pihak tak jarang berseteru atau memperebutkan untuk mendapatkan hak asuh anak di pengadilan agama.  

Sebut saja, sejumlah selebritas pernah saling “serang” dengan mantan pasangan hidupnya untuk mendapatkan hak asuh anak di pengadilan agama. Misalnya, pasangan Tsania Marwa dan Atalalrik Syah yang memiliki dua anak hasil pernikahannya. Kemudian Nikita Mirzani dan Sajad Ukra; Marshanda dan Ben Kasyafani. Bahkan perkara hak asuh anak akibat perceraian hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali, seperti kasus perceraian Maia Estianty dan Ahmad Dani, serta Tamara Blezinsky dan Teungku Rafli Pasya.

Lantas bagaimana hukum keluarga dan praktik peradilan agama melihat persoalan hak asuh anak akibat perceraian ini?

Secara normatif, hak asuh anak yang belum dewasa atau mumayyiz jatuh ke tangan ibunya. Pertimbangannya, lebih pada ikatan emosional, apalagi bila anak masih bayi yang masih memerlukan air susu ibu (ASI). Hal itu merujuk pada Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, “Dalam hal terjadinya perceraian: a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.

Dalam Pasal 105 huruf b KHI dijelaskan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya. Lalu, Pasal 105 huruf c KHI dijelaskan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.  

Dalam banyak kasus hak asuh anak jatuh ke tangan ayah. Salah satunya, kasus perceraian Tamara Blezinsky dan Teuku Rafli. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 349K/AG/2006 memutuskan pihak yang mendapat hak asuh anak (hadlonah). Anak semata wayang hasil perkawinan, Teuku Rassya jatuh ke tangan Rafli. (Baca juga: Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak)

Dalam persidangan terungkap, termohon kasasi (Tamara Blezinsky, red) merupakan publik figur yang sangat sibuk dengan pekerjaanya kala itu, sering berangkat pagi, pulang bahkan hingga malam hari. Bila anak di bawah asuhan termohon kasasi bakal kurang mendapat perhatian serta kasih sayang. Kekurangan dari sang ibu itulah yang menjadi salah satu pertimbangan majelis kasasi memberikan hak asuh kepada ayah sang anak.

 

Selanjutnya, Mahkamah Agung (MA) telah berupaya memberi pedoman terkait perseteruan perebutan hak asuh anak melalui terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Dalam rumusan kamar perdata umum huruf d menyebutkan, “Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian”.

Namun, prinsipnya kedua orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya meskipun keduanya telah bercerai sekalipun hingga anak itu dewasa atau sudah menikah sebagaimana digariskan Pasal 45 jo Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini semata-mata demi kepentingan terbaik bagi sang anak.  

Bila ada perselisihan penguasaan anak, Pengadilan bisa memberi keputusan siapa yang paling berhak mendapat hak asuh anak. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Bila bapak tidak dapat memenuhi kewajiban ini, Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut. Lalu, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Pengajar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Farida Prihatini berpendapat hak asuh anak sebaiknya diberikan kepada ibunya sepanjang anak belum dewasa dan baligh. Secara fitrah, ibu lebih dapat mengatur anak dan cenderung telaten mengasuh dan mendidik anak. Namun begitu, tak tertutup kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada sang ayah sepanjang ibunya terbukti memiliki kelakuan yang tidak baik dan dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu.  

Dia menjelaskan dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak (dalam perkara gugatan perceraian/cerai talak) perlu mempertimbangkan faktor pekerjaan ayah atau ibu si anak. Yang terpenting hak asuh anak yang diutamakan kepentingan yang terbaik bagi sang anak. Ibu pun berhak mendapat hak asuh anak meski dianggap kurang mampu. Sebab yang wajib menafkahi anak adalah sang ayah. Meski bercerai, tidak berarti ayah berhenti menafkahi sang anak.

Baca:

Kehilangan hak asuh

Pasca perceraian, sang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya berdasarkan sejumlah pertimbangan. Seperti tertuang dalam Pasal 165 huruf c KHI, seorang ibu dapat kehilangan hak asuh anaknya, meskipun masih berusia di bawah 12 tahun,“apabila pemegang hadhanah ternyatatidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutanPengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lainyang mempunyai hak hadhanah pula”.

Si Ayah dapat mengajukan permohonan ke pengadilan agama terkait pemindahan hak asuh anak (hadlanah) berdasarkan sejumlah alasan-alasan kuat yang mendukung terkabulnya permohonan peralihan hak asuh anak tersebut. Dalam kasus perceraian antara Marshanda dan Ben Kasyafani misalnya, Pengadilan mencabut hak asuh anak yang bernama Sienna Ameerah dari tangan Marshanda meskipun Sienna belum mumayyiz. Majelis Hakim Pengadilan Agama memutuskan hak asuh kepada sang ayah, Ben Kasyafani. Putusan bernomor 0419/PDT.G/2014/PA.JP ini dapat dikatakan “menyimpangi” ketentuan Pasal 105 huruf a KHI.

Pertimbangan Majelis cenderung memberi perlindungan yang aman dan pasti terhadap hak asuh, pemeliharaan, pengawasan terhadap si anak. Selain itu, Marshanda saat itu diduga mengidap gangguan kejiwaan bipolar disorder tipe II. Karenanya, bila diserahkan ke Marshanda sebagai ibu kurang menjamin hak asuh pengawasan dan kesejahteraan si anak. Namun demikian, kuasa hak asuh anak tersebut tak menghilangkan hak Marshanda sebagai ibunya untuk memelihara dan mendidiknya sebagaimana diamanatkan Pasal 45 ayat (1) UU 1/1974.

Selanjutnya, anak pun memiliki hak mendapat pengasuhan hingga proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya yang telah bercerai. Pasal 14 ayat (2) UU No.25 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, “Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan d. memperoleh Hak Anak lainnya”.

Norma ini diperkuat SEMA No.1 Tahun 2017, dalam rumusan kamar agama poin 4 yang menyebutkan“Dalam amar penetapan hak asuh anak (hadlanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadlanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlanah”.

Tags:

Berita Terkait