Hak Bersidang Secara Langsung di Pengadilan Tinggi dalam Perkara Pidana
Kolom

Hak Bersidang Secara Langsung di Pengadilan Tinggi dalam Perkara Pidana

Pemeriksaan persidangan di pengadilan tinggi sebagai peradilan ulangan yang dilakukan oleh judex factie merupakan bagian dari upaya menemukan kebenaran materiil.

Bacaan 4 Menit
Muh. Ibnu Fajar Rahim. Foto: Istimewa
Muh. Ibnu Fajar Rahim. Foto: Istimewa

Pembahasan yang mendalam tentang pemeriksaan persidangan dalam perkara pidana di pengadilan tinggi memang sangat jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan adanya paradigma dalam dunia praktis bahwa pemeriksaan pengadilan tinggi tidak ada bedanya dengan pemeriksaan pengadilan negeri. Bahkan lebih mudah karena para pihak yang berkepentingan tidak perlu hadir di persidangan melainkan hanya mengirimkan memori atau kontra memori banding yang akan diperiksa oleh hakim pengadilan tinggi beserta berkas perkara hasil persidangan pada tingkat pengadilan negeri.

Persidangan di pengadilan tinggi pun sering dianggap formalitas karena kalaupun toh permohonan upaya hukum banding ditolak oleh pengadilan tinggi maka ujungnya dapat mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Benarkah demikian? Tentu saja tidak.

Pada kesempatan kali ini, Penulis akan mencoba menarasikan secara mendalam situasi pemeriksaan persidangan di pengadilan tinggi, khususnya apakah para pihak berhak hadir pada saat pemeriksaan di pengadilan tinggi. Hal ini bertujuan untuk menegaskan betapa pentingnya pemeriksaan persidangan di pengadilan tinggi.

Baca juga:

Sebagaimana yang diketahui bahwa pemeriksaan di pengadilan tinggi dapat dilakukan apabila terdapat upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri (tulisan ini tidak membahas upaya hukum perlawanan). Dalam Pasal 67 KUHAPjo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP pada pokoknya menyatakan bahwa penuntut umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum banding di pengadilan tinggi terhadap putusan pengadilan negeri. Baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan tinggi, hakim yang memeriksa disebut judex factie, yakni hakim yang memeriksa fakta-fakta persidangan. Fakta-fakta tersebut merupakan fakta-fakta yang dihadirkan oleh penuntut umum sebagai tesis dan terdakwa sebagai antithesis yang pada akhirnya hakim selaku judex factie yang memeriksanya dan menyimpulkan dalam bentuk putusan sebagai sintesis. Berbeda halnya di Mahkamah Agung dimana hakim yang memeriksa disebut judex jurist, yakni hakim yang memeriksa penerapan hukum oleh judex factie. Meskipun demikian, judex jurist pun dalam realitasnya juga memeriksa fakta persidangan.

Kembali kepada Pengadilan Tinggi sebagai judex factie. Dalam Pasal 238 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri. Hal ini menjadikan pemeriksaan judex factie hanyalah sekadar pemeriksaan formil saja terhadap surat-surat tanpa menguji secara langsung fakta-fakta persidangan dalam pemeriksaan pengadilan negeri.

Parahnya, terkadang keterangan saksi-saksi dan terdakwa yang tertulis dalam putusan pengadilan negeri seringkali tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan yang sebenarnya atau apakah memang disengaja untuk menggelapkan fakta hukum (embezelment of legal fact). Tidak bermaksud mencurigai, namun begitulah realitasnya. Terkadang untuk mengantisipasi hal tersebut penuntut umum maupun terdakwa merekam jalannya pemeriksaan persidangan di pengadilan negeri untuk dijadikan ad informandum ataukan informasi tambahan untuk membuktikan ketidaksesuaian tersebut.

Tags:

Berita Terkait