Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan
Fokus

Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan

Cuti haid sudah menjadi hak pekerja perempuan, tapi banyak perusahaan seolah tutup mata. Bahkan, sedikit sekali kantor firma hukum yang memberikan cuti haid kepada lawyer perempuannya. Uniknya, para buruh kerah putih rupanya juga tidak banyak yang memanfaatkannya. "Tidak perlu tuh." Lho?

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Uwiyono berpendapat bahwa hal itu tidak terlepas dari pengaruh  serikat buruh yang selama ini lebih banyak berada di tempat buruh-buruh pabrik. Serikat buruh lah yang mensosialisasikan pada buruh-buruh di situ mengenai adanya hak cuti haid itu.

Namun menurut Sri Wiyanti, tidak semua serikat buruh mempunyai basis di pabrik-pabrik. Dari data yang dikumpulkan di lapangan oleh kelompok perempuan untuk keadilan buruh, misalnya, ditemukan banyak sekali pelanggaran cuti haid.

Bentuk pelanggaran cuti haid, seperti ada buruh yang harus diperiksa dahulu sebelum diberikan haknya. Misalnya, kewajiban menunjukkan pembalut atau membuka celana. Ada pula perusahaan yang menentukan waktu-waktu untuk cuti haid. Cuti itu bukan pada hari di mana buruh itu mengalami haid, sehingga membutuhkan cuti. 

Buruh kerah putih

Yang menjadi pertanyaan, apakah memang para buruh kerah putih tidak membutuhkan cuti haid karena situasi kerjanya yang relatif nyaman? Atau, karena mereka dalam kondisi kesehatan yang baik, sehingga tidak merasakan sakit selama mengalami haid sehingga tidak memerlukan cuti.

Atau jangan-jangan, para buruh kerah putih itu sebenarnya membutuhkan cuti itu. Namun, khawatir dituding kalah produktif dengan rekan-rekan kerja yang pria jika mereka harus tidak masuk kerja selama satu atau dua hari.

Karena bukan rahasia lagi bahwa perempuan yang bekerja sering kali mengalami diskriminasi, baik terang-terangan maupun tidak. Karena itu, pekerja perempuan harus menunjukkan bahwa ia memang mampu bersaing dan ahli di bidangnya untuk bisa diakui di lingkungan kerjanya.

Apalagi di Indonesia, cara pandang yang umum berlaku adalah buruh dihitung dari produktivitasnya dan bukan dilihat dari kualitas kerjanya. Belum lagi jika kita bicara mengenai banyaknya buruh kerah putih yang tidak rela dikatakan sebagai buruh karena mereka menganggap dirinya sebagai kaum profesional. Padahal, setiap orang yang tidak mempunyai alat produksi dan digaji oleh orang lain tentu dapat dikategorikan sebagai buruh.

Halaman Selanjutnya:
Tags: