Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan
Fokus

Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan

Cuti haid sudah menjadi hak pekerja perempuan, tapi banyak perusahaan seolah tutup mata. Bahkan, sedikit sekali kantor firma hukum yang memberikan cuti haid kepada lawyer perempuannya. Uniknya, para buruh kerah putih rupanya juga tidak banyak yang memanfaatkannya. "Tidak perlu tuh." Lho?

Nay/APr
Bacaan 2 Menit

Bagaimana dengan hak cuti di kantor hukum (law firm)? Hukumonline mencoba melihat para lawyer perempuan yang bekerja di kantor-kantor hukum di Jakarta. Dari empat orang lawyer, hanya ada satu orang lawyer yang menyatakan bahwa di kantornya diberlakukan hak cuti haid. Tiga orang lainnya menyatakan bahwa tidak ada pemberian hak cuti haid di kantor tempat mereka bekerja.

Bahkan, dua orang lawyer menyatakan tidak ada peraturan perusahan di kantornya. "Memangnya ada law firm yang mempunyai peraturan perusahan," cetus Nila, sebut saja, seorang lawyer di law firm di bilangan Sudirman, Jakarta.

Yang menarik, keempat lawyer ini menyatakan tidak memerlukan cuti haid dan tidak akan menggunakan haknya tersebut kalaupun diberikan oleh perusahaan. Dita, satu-satunya lawyer yang mengaku ada hak cuti haid di kantornya, menyatakan bahwa hak cuti itu selama ini hanya digunakan oleh para sekretaris saja. Dita mengaku cukup kuat untuk bekerja, walaupun sedang haid. Karena itu, ia merasa tidak perlu mengambil hak cuti tersebut.

Sementara Lala, lawyer sebuah law firm baru yang sedang berkembang, menyatakan memang ada beberapa rekan kerjanya yang jika haid tidak masuk kerja karena merasa sakit. Toh, mereka mengajukan ijin sakit, bukan cuti haid.

Putri beralasan, ia memang suka bekerja dan merasa malas melakukan prosedur untuk mengajukan cuti haid. Karena itu, ia tidak berniat mengambil cuti haid, walaupun disediakan. "Bukan karena khawatir dianggap tidak profesional lho," cetusnya.

Sementara Nila beralasan, cuti haid jelas akan mengurangi produktivitasnya. "Saya tidak merasa terganggu dengan haid saya. "Ya dari pada nganggur di rumah, bisa 'bete', lebih baik masuk kerja," ungkapnya.

Walau mengatakan tidak akan mengambil cuti haid, Putri menyatakan cuti haid seharusnya tidak akan mengurangi produktivitas. Pasalnya, ia bisa menggantinya dengan lembur. Namun, ia menyatakan bahwa cuti akan dapat menimbulkan image yang jelek bagi klien dan rekan kerjanya. Mereka akan berpikir, kok begitu saja cuti sih," cetusnya.

Sementara itu Karina, seorang staf legal perusahan multinasional, mengemukakan bahwa perusahannya menyediakan fasilitas cuti haid bagi semua pegawai perempuan. Namun, ia sendiri mengaku tidak mengambil cuti itu lantaran tidak merasa sakit. "Lagi pula haid hari pertama dan kedua saya, biasanya jatuh pada saat weekend," cetusnya.

Khas negara dunia ketiga

Menurut Sri Wiyanti, hak cuti haid adalah khas negara dunia ketiga yang miskin, upah buruhnya murah, dan kondisi sosial ekonominya sangat rentan. Karena lingkungan kerja buruh dunia ketiga yang keras, maka dituntut adanya cuti haid.  Contohnya, di Indonesia, Filipina, dan negara Asia lainnya.

"Karena kondisi negara dunia ketiga yang relatif patriarkhi dan miskin, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolong buruh perempuan, kecuali  memberikan sedikit waktu untuk memikirkan tubuhnya," tegas Wiyanti.

Sementara di negara-negara maju, perusahaan- perusahaan sudah mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan manajemen yang lebih memanusiakan pekerja. Karena dengan diperlakukan secara manusiawi dan friendly, diyakini hasil kerjanya akan lebih baik.

Karena itu, di negara-negara tersebut, cuti haid memang tidak diberikan oleh semua perusahaan karena situasi yang sudah baik. Namun, justru mulai dikembangkan parental leave. Para suami yang istrinya melahirkan berhak mendapatkan cuti selama tiga bulan. Karena diyakini, mengurus anak adalah tugas bersama orangtua. "Di Indonesia, hal itu kan tidak populer karena asumsi gender yang ketat sekali untuk perempuan," kata Wiyanti.

Mengubah perspektif

Pembahasan tentang permasalahan cuti haid memang tidak dapat berdiri sendiri. Permasalahan cuti haid hanyalah sebuah serpihan kecil dari bingkai besar permasalahan hak buruh perempuan. Satu hal penting yang harus terus diperjuangkan ialah mendekonstruksi perspektif dominan sekarang yang merugikan kaum buruh perempuan.

Eksistensi dari perspektif yang narrow minded dan diskriminatif tersebut dapat dilihat dari suburnya pendapat  pendapat miring yang terdapat, bahkan pada  kaum buruh  itu sendiri. Pada  kaum buruh  menengah  ke bawah misalnya, cenderung mengesampingkan hak cuti haid tersebut karena takut dikatakan tidak produktif. 

Sedangkan yang terjadi pada kaum buruh menengah ke atas  sedikit lebih kompleks. Terdapat sebuah hegemoni berupa kesadaran palsu dengan intensitas tinggi yang mengatakan bahwa mereka ialah kaum profesional. Karena itu, mereka--termasuk buruh perempuan--sering kali menafikan hak mereka karena khawatir dikatakan tidak profesional.

Hal  yang sama  juga terjadi  pada tataran pemilik modal. Sudah umum diketahui  bahwa buruh perempuan sering kali didiskriminasi melalui berbagai  bentuk perlakuan.

Mengubah perspektif pada berbagai tataran tersebut memang berat  dan harus diperjuangkan bersama-sama. Hak cuti haid sebagai hak normatif mestinya tetap diberikan oleh perusahaan, terlepas dari apakah hak itu akan digunakan atau tidak. Jangan sampai atas nama profesionalisme dan produktifitas, hak manusiawi karyawan terabaikan.

Tags: