Hakim MK Ini Bicara Kesetaraan Gender di Peradilan Konstitusi
Hari Hakim Wanita Internasional

Hakim MK Ini Bicara Kesetaraan Gender di Peradilan Konstitusi

Selama menjadi hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih tidak pernah merasa diperlakukan berbeda, semua diperlakukan sama dan setara.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Prof Enny Nurbaningsih saat acara pisah sambut hakim konstitusi menggantikan Prof Maria Farida Indrati pada 13 Agustus 2018 lalu. Foto: RES
Prof Enny Nurbaningsih saat acara pisah sambut hakim konstitusi menggantikan Prof Maria Farida Indrati pada 13 Agustus 2018 lalu. Foto: RES

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada 28 April 2021 lalu telah memproklamirkan “Hari Hakim Wanita Internasional” yang jatuh pada tanggal 10 Maret. Negara-negara anggota termasuk Indonesia diminta untuk mematuhi keputusan tersebut. Langkah ini diambil dengan maksud untuk mempromosikan pratisipasi penuh dan setara bagi perempuan pada setiap tingkat peradilan suatu negara.

“Saya berpikir sesungguhnya laki-laki dan perempuan itu sama saja, setara, dibedakan beberapa hal yang sifatnya kodrati saja. Tapi dari sisi bagaimana seseorang harus mengembangkan kapasitasnya termasuk memiliki kompetensi atau tidak, itu semua sama,” ujar Hakim Konstitusi Prof Enny Nurbaningsih saat dihubungi Hukumonline melalui sambungan telepon, Kamis (10/3/2022).

Dia mengaku tidak pernah memikirkan adanya dikotomi dari pekerjaan. Ketika ia di posisi sebagai satu-satunya hakim perempuan di Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu terjadi karena kebetulan saja. “Mari kita sama-sama berkompetensi secara real, tidak melihat slotnya, kalaupun besok saya habis masa jabatannya hanya untuk wanita. Tidak begitu. (Pokoknya) siapapun, yang punya kompetensi di bidang itu dia secara real mampu menunjukkan itu, seharusnya dibuka kesempatan itu seluas-luasnya,” kata dia.

Tinggal melihat proses seleksi calon hakim/calon hakim konstitusi, apakah prosesnya transparan atau ada perlakuan diskriminatif antara pendaftarnya laki-laki atau perempuan. Namun dari yang dia rasakan secara pribadi selama ini, tidak pernah terdapat perilaku diskriminatif terhadapnya sebagai seorang hakim wanita.

Bahkan dari dulu hingga sekarang, tidak pernah didapati diskriminasi yang sukar ditolerir antara laki-laki dengan perempuan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun selama menjabat hakim konstitusi. “Tanggung jawab dan tugas yang dilimpahkan sama tanpa memandang perempuan atau laki-laki.”

Sehari-hari yang dijumpai dalam pelaksanaan tugas dan fungsii sebagai seorang hakim tetaplah sama. Para hakim harus memutus sedemikian rupa tanpa memperhatikan gender sama sekali dengan hanya berfokus tujuan untuk memberi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk para pencari keadilan.

“Saya bersyukur tidak pernah menghadapi hal-hal yang dikotomi di dunia peradilan, khususnya peradilan konstitusi. Saya tidak tahu di badan peradilan lain, tapi saya juga berharapnya sama. Alangkah sulitnya kita untuk mengeksplorasi kemampuan kita, kapasitas yang kita miliki, kalau kita dihadapi tidak bisa seleluasa mungkin, sangat sulit sekali. Karena mahkotanya peradilan itu adalah putusan, kalau dihadapi dengan dikotomi karena gender basisnya, sangat sulit untuk mencapai putusan yang sebaik mungkin.”

Tags:

Berita Terkait