Hakim MK Kritik Politisi PDIP Mangkir Sidang
Berita

Hakim MK Kritik Politisi PDIP Mangkir Sidang

Tindakan mangkir dalam persidangan sesuatu yang tidak pantas dilakukan seorang anggota DPR/MPR.

ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Ketua Majelis Panel MK Patrialis Akbar mengkritik sikap tiga anggota DPR yang mengajukan uji materi Pasal 15 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Para pemohon tidak hadir (mangkir) dalam persidangan perdana tanpa pemberitahuan.

Sidang sempat ditunda 20 menit untuk menunggu para politisi PDIP yang mengajukan permohonan. Tetapi yang ditunggu tak datang-datang. “Sidang ini sudah kita tunda lebih kurang 20 menit, tetapi para pemohon ternyata juga tidak hadir dan tidak ada surat tertulis yang menyatakan halangan dari ketiga pemohon,” ujar Patrialis saat memimpin sidang perdana pengujian UU MD3 di ruang sidang MK, Rabu (22/10). Patrialis didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida dan Anwar Usman selaku anggota majelis.

Patrialis menilai ketiga pemohon tidak mengerti tata krama dan terkesan tidak serius dalam mengajukan permohonan. “Tiga pemohon atas nama Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, Henry Yosodiningrat, seharusnya lebih paham tata krama persidangan di MK. Kalau tidak hadir mesti ada pemberitahuan secara tertulis,” kata Patrialis.

Dia memandang tindakan para pemohon sesuatu yang tidak pantas dilakukan seorang anggota DPR/MPR. Sebab, MK adalah lembaga resmi, bukan tempat bermain-main. “Ini menjadi catatan khusus bagi panitera karena sidang di MK bukan untuk main-main. Apa yang kami sampaikan ini penting diingatkan bagi para pemohon,” ujarnya mengingatkan.

Sebelumnya, Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, dan Henry Yosodiningrat mempersoalkan Pasal 15 ayat (2) UU MD3 terkait mekanisme pemilihan pimpinan MPR dalam satu paket. Ketiga politisi PDI-P itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran tidak bisa menggunakan haknya selaku anggota MPR untuk menentukan siapakah pihak yang akan menjadi pimpinan MPR.

Pasal 15 ayat (2) UU MD3 berbunyi, “Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.”

Mereka menilai kerugian konstitusional yang dialami karena sistem paket seperti dalam pemilihan pimpinan DPR pada 1 Oktober 2014 lalu, yang mengharuskan minimal 5 fraksi yang berbeda membentuk satu paket yang menyebabkan tidak ada otonomi anggota seperti yang dijamin Pasal 2 ayat (1), (3) UUD 1945 dan Pasal 10 huruf c UU MD3. Sebab, sistem paket seperti itu esensinya pemilihan berada di tangan pilhan fraksi, bukan anggota.

Menurut para pemohon, hak mereka untuk memilih terbukti dihilangkan karena fraksi asal Pemohon yakni PDI Perjuangan tidak dapat membentuk paket karena kekurangan satu fraksi lagi. Karenanya, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 15 ayat (2) UU MD3 karena bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), (3) UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait