Hari Bhakti Adhyaksa ke-62, Komnas Perempuan Sampaikan 7 Rekomendasi untuk Kejaksaan
Terbaru

Hari Bhakti Adhyaksa ke-62, Komnas Perempuan Sampaikan 7 Rekomendasi untuk Kejaksaan

Komnas Perempuan mengapresiasi pencapaian Kejaksaan dalam pemenuhan hak atas keadilan bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBH).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Termasuk ketidakwajaran untuk meminta korban menjalani pemeriksaan dengan alat tes kebohongan, dan mengenai tuntutan yang ringan pada pelaku kekerasan seksual dan kelangkaan tuntutan restitusi,” ujar Andy.

Perbaikan sistemik diperlukan, termasuk mendorong pengawasan terhadap pelaksanaan Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021. Perbaikan sistemik untuk menyikapi keluhan di atas perlu dipastikan, termasuk dengan mendorong pengawasan pelaksanaan Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021.

Pedoman itu menjadi semakin penting dalam implementasi UU TPKS yang memberikan mandat kepada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara antara lain harus memiliki kompetensi TPKS, koordinasi lintas sub sistem pidana (kepolisian dan pengadilan) serta penggunaan pidana khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual.

Untuk melaksanakan mandat tersebut ada tantangan yang dihadapi, misalnya jumlah jaksa perempuan sangat terbatas. Andy menghitung dari 11.070 orang Jaksa di Indonesia, hanya ada 345 jaksa perempuan. Jumlah sumber daya itu dirasa belum dapat mengimbangi kebutuhan lonjakan penanganan kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan dan lembaga layanan pada tahun 2021 mencatat ada 4.660 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Untuk mendukung penguatan Kejaksaan RI, khususnya dalam tugas dan fungsi jaksa sebagai penuntut umum dalam penanganan perkara kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengusulkan sedikitnya 7 rekomendasi. Pertama, mengembangkan terobosan penanganan perkara berbasis elektronik dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya sebagai bentuk persiapan pemenuhan mandat Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) UU TPKS.

Kedua, meningkatkan koordinasi lintas Aparat Penegak Hukum (APH) dan lembaga pemangku kepentingan terkait lainnya. Seperti UPTD PPA, Rumah Sakit, dan Lembaga Pengada Layanan berbasis masyarakat dalam penguatan sinergi multi-pemangku kepentingan penanganan kasus Kekerasan terhadap Perempuan.

Ketiga, merancang alokasi sumber daya anggaran untuk program-program peningkatan kapasitas jaksa dalam perspektif perempuan dalam penanganan perkara PBH. Khususnya perkara kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan berbasis gender siber dan perempuan disabilitas. Serta dukungan afirmatif dan program insentif bagi jaksa perempuan dalam upaya peningkatan jumlah sumber daya jaksa perempuan di Indonesia.

Keempat, mengembangkan unit khusus dalam Kejaksaan untuk berperan aktif dalam advokasi penyusunan peraturan turunan dan pelaksanaan UU TPKS. Terutama terkait tugas dan fungsi jaksa dalam penanganan perkara TPKS.

Kelima, meningkatkan kolaborasi dengan Komnas Perempuan, Akademisi, dan Lembaga Pengada Layanan dalam program-program peningkatan kapasitas jaksa yang perspektif perempuan dalam penanganan perkara PBH. Khususnya untuk perkara kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik dan perempuan penyandang disabilitas.

Keenam, memastikan tersedianya lembaga Kejaksaan RI hingga di wilayah-wilayah terluar dan terpencil untuk aksesibilitas perempuan yang berhadapan dengan hukum. Ketujuh, memastikan adanya pakta integritas terkait anti kekerasan terhadap perempuan di lembaga-lembaga kejaksaan di seluruh wilayah.

Tags:

Berita Terkait