Hasil Tim Kajian: Pemerintah Bakal Revisi 4 Pasal dalam UU ITE
Utama

Hasil Tim Kajian: Pemerintah Bakal Revisi 4 Pasal dalam UU ITE

SKB Pedoman Penafsiiran UU ITE segera diluncurkan. SKB Pedoman Penafsiran UU ITE ini akan digunakan sambil revisi Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 45C UU ITE dibawa ke proses legislasi melalui Kemenkumham.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Pada Februari lalu, Pembentukan Tim Kajian UU ITE ini berdasarkan Keputusan Menkopolhukam No.22 Tahun 2021 tentang Tim Kajian UU ITE yang anggotanya dari beberapa kementerian dan lembaga. Tim Kajian diberi waktu selama tiga bulan hingga 22 Mei 2021 untuk mengkaji UU ITE ini. Hasilnya, bakal menjadi rujukan pemerintah untuk memutuskan apakah UU ITE perlu direvisi atau tidak.   

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH Pers, YLBHI, ICJR, SAFENet, dan para aktivis lainnya dalam keterangan tertulisnya menyatakan pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar akibat penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE.

Salah satu contoh, pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian. Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah, lebih memprihatinkan pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, sesuatu yang oleh MK dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden.

“Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis. Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro-demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama,” tulis Koalisi.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudi menilai penerapan UU ITE telah memakan banyak korban. Korbannya bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga kalangan jurnalis dan akademisi, bahkan aktivis buruh yang melakukan advokasi terhadap pekerja. Ancaman bukan hanya penggunaan pasal-pasal pidana dalam UU ITE, tetapi juga serangan siber. Misalnya serangan siber yang menimpa beberapa media massa akibat pemberitaan.

Ironisnya, sejumlah kasus serangan siber yang menimpa aktivis dan media massa tak berhasil diungkap hingga mendekati akhir tahun 2020. Beda halnya dengan kasus-kasus yang menimpa instansi atau tokoh pemerintah, penanganannya cepat dilakukan. Itu sebabnya, salah satu kritik Ade Wahyudi adalah ketidakadilan dalam penerapan UU ITE ini.

“Ada ketimpangan penerapan pidana UU ITE,” ujar Direktur LBH Pers ini dalam webinar ‘Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE’, Selasa (22/12/2020) lalu. (Baca Juga: Sejumlah Alasan Pencemaran Nama Baik di Dunia Maya Perlu Dicabut dari UU ITE)

Tags:

Berita Terkait