Hati-Hati! Indonesia Bisa Digugat Negara Lain Gara-Gara Asap
Berita

Hati-Hati! Indonesia Bisa Digugat Negara Lain Gara-Gara Asap

Sudah beberapa kali pemimpin Indonesia meminta maaf kepada negara tetangga akibat bencana asap. Bisa menjadi amunisi.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Hati-Hati! Indonesia Bisa Digugat Negara Lain Gara-Gara Asap
Hukumonline
Pakar hukum lingkungan internasional, Laode Muhammad Syarif, mengingatkan Indonesia bisa digugat oleh negara lain ke forum internasional akibat bencana asap. Jika pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak dan terkesan membiarkan bencana asap terus berulang, potensi gugatan itu semakin besar.

“Negara korban bisa menggugat negara pencemar,” kata Syarif saat tampil sebagai narasumber dalam diskusi penegakan hukum lingkungan yang diselenggarakan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Jakarta, Kamis (10/9) kemarin.

Hingga kini, pembakaran lahan di beberapa tempat telah menyebabkan bencana asap. Di Riau, misalnya, sekolah terpaksa diliburkan gara-gara asap. Asap juga mengganggu penerbangan di beberapa tempat lain seperti di Jambi dan Palangkaraya Kalimantan Tengah. Bencana asap seolah peristiwa yang berulang dari tahun ke tahun, seperti sebuah siklus.

Seingat Syarif, tiga presiden Indonesia yang berbeda pernah meminta maaf kepada negara tetangga akibat ‘kiriman’ asap.  Pernyataan maaf itu adalah admission of guilty, pengakuan bersalah pemerintah yang bisa dijadikan amunisi oleh negara lain bahwa Indonesia memang bersalah. Dengan menggunakan amunisi itu, Indonesia bisa langsung kalah.

Jika kalah, kata dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu, minimal  Indonesia diharuskan membayar ganti rugi kepada negara korban. Jumlahnya pun tidak sedikit. “Apalagi kalau dihitung dari bencana asap tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.

Dalam dunia internasional ada preseden kasusnya. Syarif mencontohkan Trail Smelter Arbitration Case  antara Amerika Serikat dan Kanada. Penggunaan sulfur dioksida pada peleburan biji besi yang dipakai perusahaan Kanada, Trail Smelter, menimbulkan bahaya kepada warga Washington tahun 1925 dan 1937. Amerika Serikat mempersoalkan dan membawa kasus ini ke ranah hukum ‘with an injunction against further air pollution by Trail Smelter’. Perusahaan Kanada itu akhirnya dibebani kewajiban membayar ganti rugi setelah kedua negara sepakat menempuh jalur arbitrase.

Ia juga mengingatkan ada prinsip hukum lingkungan internasional. Saat suatu negara mengeksploitasi sumber daya alam, ia tak boleh merugikan negara lain. Jika dibawa ke konteks Indonesia, pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan membakar lahan justru menimbulkan asap yang dampaknya hingga ke negara lain. Pengecualian atas tanggung jawab akibat eksploitasi SDA itu hanya jika negara bisa membuktikan bencana alam itu terjadi karena force majeur.

Meskipun demikian, bukan berarti mudah membawa kasus ini ke forum internasional. Negara korban dan negara yang menimbulkan pencemaran harus sepakat untuk menyelesaikannya terlebih dahulu di forum internasional. Jika salah satu negara, misalnya Indonesia tidak mau, maka forum penyelesaian semacam itu sulit dijalankan. Penyelesaian terbentur prinsip kedaulatan negara.

Sebenarnya Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran ASAP Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) pada September tahun lalu. Ratifikasi ini kemudian menjadi UU No. 26 Tahun 2014. Persetujuan ini mengharuskan Indonesia melakukan serangkaian aktivitas untuk mencegah dan menanggulangi pembakaran. Indonesia juga harus memperkuat basis regulasi, termasuk penegakan hukumnya.

Gugatan di dalam negeri
Sebenarnya, Indonesia tak hanya menghadapi kemungkinan gugatan dari negara lain. Di dalam negeri, kasus asap juga sudah membuahkan gugatan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggunakan hak gugat organisasi dan menyeret 15 lembaga pemerintah ke PN Jakarta Pusat. Kelima belas lembaga pemerintah itu dianggap bertanggung jawab atas bencana asap.

Persidangan gugatan ini berjalan lamban, antara lain karena wakil lembaga pemerintah selaku tergugat acapkali tidak menghadiri sidang. Gugatan diajukan sejak September 2013 saat asap mengancam kehidupan warga di Riau dan Jambi. Tetapi baru diputus majelis hakim pada media Desember 2014. Setelah setahun lebih, apa hasilnya? Majelis hakim menyatakan gugatan Walhi kabur. Walhasil, gugatan Walhi kandas.

Direktur Eksekutif ICEL, Henry Subagyo mengatakan masyarakat yang menjadi korban tetap perlu menggunakan hak-hak hukum mereka. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka punya hak untuk mempersoalkan bencana asap, apalagi jika pembakaran lahan yang menyebabkan asap dilakukan oleh perusahaan perkebunan, dan pemerintah tidak melakukan upaya maksimal mencegahnya.
Tags:

Berita Terkait