Hati-hati Membeli Obligasi Jika Tak Mau Rugi
Landmark Decisions MA 2017

Hati-hati Membeli Obligasi Jika Tak Mau Rugi

MA memutuskan bahwa hanya wali amanat yang memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Mahkamah Agung menegaskan sebuah kaidah hukum penting yang berlaku di pasar modal. Pihak yang berhak mengajukan gugatan untuk dan atas nama pemegang obligasi adalah wali amanat. Kaidah hukum ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 1455K/Pdt/2017. Putusan ini menjadi salah satu landmark decisions yang dipublikasikan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2017.

 

Lewat putusan itu, Mahkamah Agung menegaskan ketentuan  Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Menurut pasal ini, wali amanat mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 1 angka 30 Undang-Undang yang sama menyebutkan wali amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang.

 

Praktisi hukum pasar modal, Fahmy Hoessein, berpendapat masalah wali amanat yang disinggung dalam putusan Mahkamah Agung tidak bisa dilepaskan dari isi perjanjian kedua belah pihak saat pembelian obligasi subordinasi. Biasanya, perjanjian kedua pihak mengatur kewenangan wali amanat bertindak untuk dan atas nama investor atau kreditor, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

 

“Menurut saya harus lihat dulu perjanjian dan UU Pasar Modal tentang wali amanat, apakah dia diberi kewenangan bertindak atas nama kreditor dalam hal ini investor untuk melakukan tindakan hukum atau hanya investor bisa berhak langsung,” ujarnya kepada Hukumonline.

 

Baca:

 

Meskipun isi perjanjian memberikan kewenangan kepada wali amanat untuk bertindak atas nama investor baik di dalam maupun di luar pengadilan, Fahmi menilai investor tetap memiliki hak untuk mengajukan gugatan langsung tanpa perantara wali amanat sepanjang investor atau kreditur memiliki hak dan kewajiban atas kontrak dan merupakan subyek hukum.

 

“Walaupun di dalam UU diatur soal wali amanat, tapi menurut saya UU tidak bisa membatasi hak dan kewajiban yang dimiliki terkait utang piutang. Jadi menurut pendapat saya, untuk melihat sumir atau tidak sumir harus lihat UU, kalau tidak, ada yang tidak benar dari UU kita ini,” ungkapnya.

 

Selain itu, perlu dilihat kembali isi kontrak atau perjanjian terkait perwaliamanatan. Sejauh mana kontrak tersebut mengikat dan keberlakuannya berdampak kepada hak investor. “Kalau MA menganggap harus melalui wali amanat, apakah kontrak perjanjian wali amanat, hak nya itu akan menjadi ada dong. Kalau menjadi ada (hak-nya) setelah kontrak berakhir, dia bisa (gugat) dong, maka itu yang perlu kita teliti. Harus dilihat kontrak dan bagaimana berdampaknya terhadap investor ini. Tapi menariknya bagaimana bisa dengan adanya kontrak mengenyampingkan hak. Ini menarik,” tambahnya.

 

Putusan Mahkamah Agung adalah mengenai sengketa PT II dan kawan-kawan melawan sebuah bank PT BGI (dalam likuidasi) dan kawan-kawan. PT II dkk menggugat BGI dkk karena menilai para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagai akibat memuat informasi yang tidak benar dan menyesatkan tentang fakta materiil. Ini terjadi saat penawaran umum obligasi subordinasi bank tersebut pada 2003 silam. Para penggugat --antara lain Dana Pensiun Perumnas, Dana Pensiun Krakatau Steel, dan Bank Niaga-- sebagai pembeli/pemegang obligasi merasa dirugikan.

 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan para penggugat. Demikian juga pengadilan tingkat banding. Majelis hakim judex facti mengatakan para tergugat terbukti bersalah dan menjatuhkan hukuman ganti rugi secara bervariasi antara satu hingga tiga miliar rupiah. Tetapi Mahkamah Agung berpendapat putusan judex facti tidak tepat.

 

Majelis kasasi berpendapat wali amanatlah yang harus mengajukan gugatan untuk kepentingan pemegang obligasi, dalam hal ini para penggugat termasuk dan tidak terbatas pada hak mendapatkan pembayaran utang pokok serta bunganya. Majelis kasasi --Syamsul Ma’arif, Sudrajat Dimyati dan Panji Widagdo-- merujuk pada ketentuan Undang-Undang Pasar Modal tadi. Majelis juga merujuk pada Rapat Umum Pemegang Obligasi Bank.

 

Hukumonline.com

 

Dalam putusan sebelumnya, judex facti berpendapat bahwa pokok perkara a quo bukan mengenai pembayaran utang pokok serta bunganya atas obligasi subordinasi yang diterbitkan Pemohon Kasasi I (BGI) melainkan mengenai tindakan Pemohon Kasasi I memuat data dan fakta materil yang tidak benar dan menyesatkan. Tawaran yang menggiurkan telah membuat para penggugat membeli obligasi yang diterbitkan Pemohon Kasasi I.

 

Berdasarkan informasi yang dihimpun Hukumonline, ketertarikan para penggugat makin bertambah ketika disebutkan adanya penyisihan dana pelunasan pokok obligasi (sinking fund). Rinciannya, untuk tahun pertama hingga tahun kelima sebesar 5 persen setiap tahunnya dari jumlah obligasi subordinasi yang diterbitkan. Untuk tahun keenam hingga kesepuluh sebesar 15 persen untuk setiap tahunnya. Jadi, semestinya pada tahun pertama (tepatnya pada 19 Mei 2004), BGI telah menyisihkan sinking fund sebesar Rp200 miliar (5 persen x Rp 400 miliar).

 

Penyisihan sinking fund ini cukup unik. Sebab, diantara bank-bank yang menerbitkan obligasi subordinasi, hanya BGI yang mengeluarkan obligasi subordinasi yang disertai kewajiban menyisihkan sinking fund.

 

Iming-iming keuntungan tersebut pada akhirnya membuat para tergugat membeli obligasi subordinasi BGI. Rinciannya, PT II sebanyak Rp2 miliar dan PT II Management sebanyak Rp3 miliar, masing-masing dilakukan pada Juni 2004. Sementara itu, Dana Pensiun Perumnas dan Dana Pensiun Krakatau Steel masing-masing Rp1 miliar, dilakukan pada Juni 2003.

 

Baca juga:

 

Setelah proses pembelian selesai, tiba-tiba muncul kabar bahwa BGI dan direksi diduga melakukan tindak pidana dengan menerbitkan reksadana fiktif. Bahkan, kondisi semakin memanas tatkala BI memasukkan BGI dalam status bank Dalam Pengawasan Khusus (DPK) pada 27 Oktober 2004. Pihak bank menepis anggapan itu meskipun kemudian Bank Indonesia memasukkannya ke dalam proses likuidasi.

 

Para penggugat merasa dirugikan atas tindakan BGI karena memuat informasi yang tidak benar dan menyesatkan tentang fakta materiil sesaat dan setelah penawaran umum obligasi subordinasi I yang mengakibatkan kerugian bagi para penggugat. Perkara kemudian didaftarkan ke PN Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2007 silam. PN Jakpus yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan gugatan para penggugat. PN Jakpus menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dan kemudian menghukum para tergugat untuk membayar sejumlah ganti rugi kepada Para Penggugat bervariasi antara Rp1 miliar hingga Rp3 miliar. Tetapi kemudian putusan PN dan Pengadilan Tinggi dibatalkan pada tingkat kasasi.

Tags:

Berita Terkait