Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VII)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VII)

Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang mempertanyakan mengapa perlu diperhatikan, apakah para penggugat dan tergugat adalah orang-orang yang tunduk pada BW?

RED
Bacaan 2 Menit

 

PP No. 9 Tahun 1975 dan Petunjuk Mahkamah Agung

Pada tahun 1975, keluar PP No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tentunya merupakan peraturan pelaksanaan UU Perkawinan. Dari judul peraturan itu sudah nampak, bahwa PP itu adalah pelaksanaan pokok-pokok yang ada dalam UU Perkawinan. Namun kalau kita simak ketentuan di dalamnya, isinya adalah:

  • Bab I “Ketentuan Umum”,
  • Bab II “Pencatatan Perkawinan”,
  • Bab III “Tata Cara Perkawinan”,
  • Bab IV “Akta Perkawinan”,
  • Bab V “Tata Cara Perceraian”,
  • Bab VI “Pembatalan Perkawinan”,
  • Bab VII “Waktu Tunggu”,
  • Bab VIII “Beristeri Lebih dari seorang”,
  • Bab IX “Ketentuan Pidana”,
  • Bab X “Penutup”.

 

Jadi PP No. 9 tahun 1975 sebagai pelaksanaan dari UU Perkawinan baru mengatur tentang pelaksanaan perkawinan dan perceraian saja. Karenanya, dengan keluarnya PP No. 9 tahun 1975, tetap saja pokok-pokok (segi-segi) UU Perkawinan yang lain, yang dalam PP No. 9 Tahun 1975 belum diatur lebih lanjut, belum dapat dijalankan.

 

Tetapi kiranya harus diakui, bahwa keluarnya PP No. 9 tahun 1975 bisa menimbulkan tafsiran yang keliru, misalnya, kalau begitu pokok-pokok yang lain memang tidak perlu diatur lebih lanjut dan langsung saja bisa dijalankan. Kemungkinan penafsiran seperti itu perlu dan harus diantisipasi.

 

Menyadari kemungkinan terjadinya kekacauan, maka Mahkamah Agung yang merasa perlu untuk memberikan pegangan kepada para hakim, telah mengeluarkan surat petunjuk No. MA /Pem/0807/75, tertanggal 20 Agustus 1975, yang ditujukan kepada para hakim tinggi dan para hakim pengadilan negeri, yang diberi judul petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung mengenai pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.

 

Beberapa petunjuk di dalamnya yang penting untuk pembicaraan kita, yaitu Sub (1), sub (3) dan sub (4) akan kita kutip. Masing-masing bunyinya:

  1. UU No. 1 tahun 1974 sebagai UU Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan (naunces) yang masih harus dipertahankan karena masih berlakunya hukum perdata positif yang beraneka ragam dalam masyarakat. Perhatikan antara pasal 66 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 47 PP No. 9 tahun 1975 yang tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan dalam KUH Perdata (BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S 1933–74), Peraturan Perkawinan Campuran (S 1898–198), melainkan hanya sejauh telah diatur dalam UU ini.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait