Hukumonline Luncurkan Hasil Survei Kebutuhan Lembaga Arbitrase di Indonesia
Utama

Hukumonline Luncurkan Hasil Survei Kebutuhan Lembaga Arbitrase di Indonesia

Salah satunya, dari beberapalembaga arbitrase yang ada di Indonesia, sebagian besar responden atau 75% pernah beracara di Badan Arbitrase nasional Indonesia (BANI). Sedangkan sebanyak 42,86% responden pernah beracara di SIAC (Singapore International Arbitration Center).

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Secara spesifik, menurut advokat translator merupakan fasilitas prioritas dalam lembaga arbitrase. Sedangkan hearing room, kualitas ruangan yang representatif dan translator merupakan fasilitas prioritas menurut arbiter. In-house counsel menilai counsellor room merupakan fasilitas yang paling penting dalam lembaga arbitrase,” jelas dia.

Dalam aspek kompetensi yang menjadi nilai utama seluruh responden ialah independensi (91.89%). Tak hanya itu, terdapat kompetensi lain yang perlu dimiliki oleh arbiter antara lain penguasaan terhadap bidang perkara atau kasus dan pengetahuan hukum yang baik (89,19%), kemampuan menggunakan teknologi dan sertifikasi sebagai arbiter (59,46%), pengalaman yang panjang sebagai arbiter (35,14%), dan enerjik (32,43%).

“Kategori sumber daya manusia ini terdiri dari pengetahuan hukum, independensi, usia (kaitannya dengan regenerasi arbiter) dan pengetahuan teknis mengenai teknologi. Dalam pertanyaan terbuka ini peneliti juga menemukan bahwa referensi arbiter yang disediakan lembaga arbitrase menjadi salah satu kebutuhan bagi responden (khususnya bagi advokat atau IHC).”

Dengan referensi arbiter saat ini dirasa kurang diterima baik, dalam hal jumlah ataupun kedalaman informasi tentang profil arbiter. Ini mempunyai relevansi dengan tingkat atau efektivitas sosialisasi tentang lembaga arbitrase. Kebutuhan terhadap informasi atas lembaga arbitrase sebagai perantara dan lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan jadi isu penting.

“Sebagian besar responden menilai UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa efektif menjadi landasan hukum arbitrase. Hal yang sama juga pada kepatuhan dalam implementasi lembaga arbitrase terhadap UU yang mengatur,” ucap Katon.

Akan tetapi, masih dijumpai catatan terkait UU tersebut. Seperti belum mencakup beberapa isu terkait penanganan kasus secara kolektif; masih ada aturan yang tidak jelas (fakultatif atau imperatif); UU sudah tidak akomodatif terhadap perkembangan praktik arbitrase, khususnya konteks internasional. "Termasuk kepastian eksekusi putusan arbitrase yang belum dijamin dalam UU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait