"ICJR mengusulkan agar dalam peraturan itu dimasukkan ketentuan larangan seseorang yang dinyatakan sebagai daftar pencarian orang (DPO) untuk mengajukan praperadilan," ujar Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Rabu malam.
Anggara mengatakan keinginan lembaganya itu didasarkan pada fakta banyaknya kejanggalan yang terjadi terkait masih diberikannya hak kepada buronan atau DPO untuk mengajukan praperadilan.
Padahal dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1988 dan SEMA No. 1 Tahun 2012, MA dengan tegas menyatakan DPO atau buronan tidak diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum.
ICJR mencontohkan kasus La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang telah berstatus DPO tetapi bisa mengajukan praperadilan dan usahanya itu dikabulkan oleh PN Surabaya.
Status tersangka La Nyalla, yang juga Ketua Umum PSSI, pun dicabut. Hakim PN Surabaya Ferdinandus menganggap, bukti-bukti yang diajukan Kejati Jatim terkait kasus korupsi itu telah usang dan telah dipertanggungjawabkan oleh dua tersangka lain dalam kasus Kadin jilid I, yakni Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring.
"Penetapan La Nyalla Matalitti sebagai tersangka dalam pembelian saham IPO Bank Jatim yang menggunakan dana hibah Kadin Jatim tidak sah dan cacat hukum," kata Ferdinandus.
ICJR menganggap hal ini adalah gambaran carut marutnya acara praperadilan di Indonesia, terutama setelah adanya putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Pada 2013, hasil penelitian ICJR terkait praktik praperadilan untuk penahanan di Indonesia mengungkapkan kecenderungan hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda.
"Dalam beberapa kasus, hakim bahkan masuk ke dalam pokok perkara tetapi di kasus yang berbeda dan lazim diterapkan, hakim hanya menguji konteks 'formal' dari praperadilan," tutur Anggara.
Dia menambahkan, sebelumnya ICJR pernah mengajukan usulan naskah akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara Praperadilan kepada Mahkamah Agung pada 2015.
Namun Mahkamah Agung menolak dengan alasan pengaturan prapraperdilan telah diatur lengkap dalam KUHAP. Alasan ini menjadi tidak mendasar sebab faktanya praktik praperadilan di Pengadilan Negeri menjadi tidak jelas.
"Dampaknya adalah hakim tidak menerapkan kepastian hukum, sebab cara menguji dan hukum acaranya berbeda-beda, menimbulkan kerugian konstitusional bagi pencari keadilan," kata Anggara.