Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril?
Oleh: Amrie Hakim*

Ihza & Ihza Sama Kebalnya dengan Yusril?

Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini tergusur dari Istana. Ikut tersingkir bersama Yusril dalam reshuffle jilid dua Kabinet Indonesia Bersatu adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin. Sulit untuk tidak menghubungkan pencopotan Yusril dan Hamid dengan kasus pencairan dana Tommy Soeharto senilai US$ 10 juta dari Banque Nationale de Paris Paribas, London, pada 2004.

Bacaan 2 Menit

 

Advokat pejabat dan nama kantor

Sebetulnya ada satu aspek lagi yang menonjol dalam kasus Ihza & Ihza ini, yaitu soal larangan advokat yang diangkat menjadi pejabat negara untuk mencantumkan atau menggunakan namanya oleh kantornya atau siapapun. Larangan demikian diatur dalam Pasal 3 huruf i KEAI. Larangan tersebut senafas dengan Pasal 20 ayat (3) UU Advokat yang berbunyi: Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut. Tapi, lagi-lagi larangan tersebut menjadi tidak relevan mengingat Yusril bukan advokat.

 

Lepas dari kasus Ihza & Ihza, dalam praktiknya larangan tersebut tidak sepenuhnya diindahkan oleh kalangan advokat sendiri. Memang benar ada advokat yang saat diangkat menjadi pejabat negara langsung mengganti nama kantornya. Tapi, tidak sedikit juga advokat yang sudah lama mengemban tugas sebagai pejabat negara, tapi nama yang bersangkutan masih saja digunakan sebagai nama kantornya.

 

Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat sudah pada tempatnya PERADI meminta klarifikasi dari advokat yang bekerja di Ihza & Ihza karena telah ada cukup indikasi bahwa kantor tersebut melanggar UU Advokat dan KEAI. Dengan tetap berprasangka baik pada advokat yang bekerja di kantor tersebut, agak sulit untuk menerima bahwa mereka tidak mengetahui rambu-rambu yang ada di dalam UU Advokat dan KEAI seperti telah dikemukakan di atas.

 

Katakanlah Ihza & Ihza didirikan sebelum UU Advokat disahkan, bukankah sudah seharusnya advokat di kantor tersebut memberikan pendapat hukum kepada para pemegang sahamnya untuk menyesuaikan diri dengan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku? Kalaupun pendapat mereka terlalu lemah untuk didengar dan diikuti oleh pemegang saham Ihza & Ihza, bukankah dengan demikian pembiaran mereka terhadap pelanggaran undang-undang dan kode etik tersebut merupakan pelanggaran tersendiri?

 

Berkaitan dengan kasus Tommygate, advokat Ihza & Ihza harus dapat membuktikan bahwa kemudahan dalam mengurus pencairan dana Tommy bukan karena posisi Yusril sebagai Menkumdang (sekaligus ketika berstatus mantan Menkumdang yang sedikit banyak masih berpengaruh di departemen tersebut) dan Mensesneg.

 

Dalam wawancara dengan hukumonline (13/3/07), Hidayat Achyar mengatakan permintaan opini hukum untuk urusan pencairan dana Tommy ke Depkumdang saat dipimpin Yusril adalah kebetulan belaka. Jawaban itu boleh-boleh saja dilontarkan Ihza & Ihza. Karenanya, publik juga boleh-boleh saja mengatakan kebetulan menterinya pemegang saham Ihza & Ihza dan kebetulan dananya US$ 10 juta (+ Rp 90 miliar), tapi bukan kebetulan kalau uang jasanya bisa semakin memakmurkan kantor dan pemegang sahamnya.

 

Jika sampai dengan saat ini publik beranggapan Yusril nyaris tak tersentuh hukum terkait kasus Tommygate, apakah demikian halnya dengan Ihza & Ihza dan advokat-advokat di dalamnya?

Tags: