Imparsial: Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon Melanggar Konstitusi
Terbaru

Imparsial: Penolakan Pembangunan Gereja di Cilegon Melanggar Konstitusi

Pemerintah Kota Cilegon harusnya menjalankan tugas dan fungsinya sesuai mandat UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana asas penyelenggaraan publik antara lain persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Video viral yang memuat Walikota dan Wakil Walikota Cilegon menandatangani petisi penolakan pembangunan gereja di Cilegon, Jawa Barat, menuai kecaman publik. Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan penolakan itu merupakan desakan massa demonstrasi yang mengancam menurunkan Walikota dan Wakil Walikota dari jabatannya jika memberikan izin pembangunan gereja HKBP Maranatha.

Penolakan itu menurut Gufron didasari pada perjanjian Bupati Serang Ronggo Waluyo dengan PT Krakatau Steel tahun 1975 yang isinya memuat perizinan berdirinya PT Krakatau Steel dengan syarat tidak boleh mendirikan gereja di kawasan tersebut. Menurut Gufron, perjanjian tersebut tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini karena mekanisme pendirian rumah ibadah telah diatur dalam sejumlah regulasi seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 Tahun 2006.

Sikap Walikota dan Wakil Walikota Cilegon itu menurut Gufron sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. “Seharusnya negara dalam konteks ini Pemerintah Kota Cilegon menjamin kebebasan semua warganya untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, termasuk untuk memiliki/mendirikan tempat peribadatan,” kata Gufron di Jakarta, Senin (12/9/2022).

Baca Juga:

Tindakan tersebut bagi Gufron melanggengkan politik pengistimewaan terhadap kelompok mayoritas yang mendiskriminasi minoritas. Politik kebijakan pengistimewaan terhadap satu kelompok selama ini telah menjadi salah satu sumber utama diskriminasi dan intoleransi yang banyak terjadi di daerah.

Gufron berpendapat kebijakan pengistimewaan itu tidak boleh dijalankan, mengingat setiap orang dan kelompok di masyarakat memiliki kedudukan setara dan hak-hak yang sama dan harus dijamin serta dilindungi negara. Jika terus menerus dilakukan, hal tersebut justru akan menyuburkan dan meningkatkan praktik-praktik diskriminatif dan intoleran yang mengikis keberagaman di masyarakat.

Pemerintah Kota Cilegon wajib memfasilitasi pendirian rumah ibadah, apalagi jika pemohon sudah memenuhi berbagai persyaratan. Gufron mencatat sampai saat ini rumah ibadah yang berdiri di Cilegon hanya untuk pemeluik agama Islam. Pemerintah Kota Cilegon seharusnya menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terutama Pasal 334 ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

“Akan tetapi, yang dilakukan Pemerintah Kota Cilegon justru menghindar dari tanggung jawabnya dan membiarkan pelanggaran atas kebebasan beragama atau berkeyakinan terus terjadi. Lebih buruk, justru Pemerintah Kota Cilegon menjadi aktor aktif atas pelanggaran yang terjadi,” ujar Gufron.

Tindakan yang dilakukan Walikota dan Wakil Walikota Cilegon yang bersepakat menolak pembangunan gereja di Kota Cilegon menunjukkan sikap diskriminatif dan penakut untuk mengambil keputusan yang benar. Pemerintah Kota Cilegon permisif terhadap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh kelompok intoleran dengan massa yang banyak, sehingga lebih mengakomodir kehendak kelompok keagamaan yang mayoritas dan mengabaikan konstitusi negara dan prinsip serta standar normatif hak asai manusia.

Untuk itu, Imparsial merekomendasikan 3 hal terkait persoalan tersebut. Pertama, mendesak Kepala Daerah untuk menghentikan politik kebijakan pengistimewaan terhadap suatu kelompok dan mendiskriminasi hak-hak kelompok minoritas. Kedua, mendesak Kepala daerah untuk tidak memihak, serta menjalankan tugas dan fungsinya dalam memfasilitasi setiap orang dan kelompok supaya dapat menjalankan hak beragamanya sebagaimana dijamin dalam Konstitusi. Ketiga, mendesak pemerintah untuk merevisi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang sering digunakan untuk mendiskriminasi hak-hak kelompok minoritas di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait