Imparsial: RPP Manajemen ASN Kembalikan Dwifungsi ABRI
Terbaru

Imparsial: RPP Manajemen ASN Kembalikan Dwifungsi ABRI

Ada indikasi RPP ini sebagai upaya untuk menempatkan perwira non-job yang menumpuk di institusi TNI/Polri.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Amanat Reformasi

Gufron mengingatkan amanat era Reformasi adalah mencabut peran TNI dan Polri dalam urusan politik. Fungsi mereka dikembalikan sepenuhnya menjadi militer dan aparat penegak hukum yang profesional. Isi RPP Manajemen ASN semakin membuktikan bahwa kebijakan pemerintah saat ini sudah melenceng jauh dan bertentangan dengan semangat Reformasi.

Ia mengingatkan demokrasi yang dinikmati hari ini adalah buah dari perjuangan politik berbagai kelompok pro demokrasi tahun 1998. Kalangan elit politik—terutama yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan—mestinya menjaga dan memajukan sistem politik demokrasi, bukan mengembalikan politik otoritarian Orde Baru.

Gufron menegaskan salah satu praktik dwifungsi ABRI yang dihapus gerakan reformasi adalah penempatan anggota TNI dan Polri aktif pada jabatan-jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara, maupun pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Kendati demikian, ada pengecualian untuk militer aktif hanya dapat menduduki jabatan-jabatan yang berkaitan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopolhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhannas, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Hal itu telah diatur Pasal 47 ayat 2 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).

Dihapusnya peran sosial-politik ABRI (TNI dan Polri) ditujukan untuk mendorong kemajuan sistem dan praktik demokrasi di Indonesia. Membuka kembali ruang itu berarti mengembalikan peran TNI/Polri seperti masa orde baru. Gufron meragukan tujuan penempatan perwira militer dan kepolisian aktif dalam jabatan sipil berguna untuk pembangunan dan penataan TNI/Polri.

Jika masalahnya penumpukan perwira non-job di kedua institusi tersebut, Gufron menilai ada upaya lain untuk menyelesaikannya. Ia menyebut misalnya dengan perbaikan proses rekrutmen anggota, pendidikan, kenaikan karir, dan kepangkatan. Berbagai agenda tersebut jauh lebih penting untuk dilakukan alih-alih memunculkan masalah baru—dengan membuka ruang penempatan mereka pada jabatan sipil—di kemudian hari.

Gufron pun berpendapat penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil sebagai siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yakni banyaknya anggota TNI/Polri aktif pada jabatan sipil. Melansir data Kementerian Pertahanan tahun 2019, ada 1.592 prajurit TNI menjabat jabatan sipil dan 29 di antaranya ilegal karena di luar dari yang dibolehkan oleh UU TNI.

Ombudsman bahkan mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan, ada perwira TNI aktif menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat. Data-data tersebut belum ditambah dengan jumlah anggota Polri di jabatan sipil dan BUMN yang tidak diketahui jumlah pastinya.

Gufron mendesak TNI/Polri fokus menjadi alat pertahanan dan keamanan yang profesional. Perkembangan generasi perang menjadi generasi perang ke-4 yang kompleks menuntut peningkatan fokus dan spesialisasi prajurit TNI untuk menghadapi ancaman spesifik. Polri pun seharusnya difokuskan menghadapi ancaman keamanan dan kriminal yang juga semakin kompleks.

Tags:

Berita Terkait