Implementasi Putusan Lemah, Problem Utama PTUN dan MK
Berita

Implementasi Putusan Lemah, Problem Utama PTUN dan MK

Pakar HAN dan Pakar HTN Indonesia mengungkapkan problem utama putusan PTUN adalah implementasinya yang kerap diacuhkan oleh pejabat TUN. Negara lain mengeluhkan soal lamanya proses dan kesadaran hukum warga negara.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Safri mengusulkan seharusnya UU menetapkan secara tegas sanksi bagi pejabat tata usaha negara yang enggan mengikuti putusan PTUN. Misalnya, diberikan sanksi oleh atasannya, tambah Safri lagi. Namun, usulan Safri ini mendapat sedikit pertanyaan dari Denny. Bagaimana bila yang melanggar putusan PTUN itu pejabat eksekutif yang paling tinggi? telisiknya. Safri pun menyarankan persoalan ini ke Mahkamah Agung (MA). Bila presiden yang melanggar putusan PTUN, Ia meminta seharusnya MA bisa memberi rekomendasi ke MPR bahwa telah terjadi pelanggaran konstitusi oleh presiden. 

 

Denny dan Safri sepertinya perlu membaca ketentuan Pasal 116 ayat (4) UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN. Ketentuan itu menyatakan Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. 

 

Kali ini, Anna Eliyana yang melontarkan kritikan. Ia mengkritik ketentuan ini dan Pasal 116 ayat (5) sekaligus. Pasal 116 ayat (5) menyatakan Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

 

Anna menilai kedua ketentuan tersebut tak jelas. Menurutnya masih rancu, siapa sebenarnya yang harus membayar sanksi itu, pejabat TUN yang digugat atau kantor tempatnya bekerja. Bila kantor yang membayar, artinya sanksi dibayar oleh negara, suatu hal yang mustahil.

 

Problem di Negara Lain

Dalam seminar, terungkap problematika penerapan HAN di berbagai negara di dunia. Bila Indonesia terkendala dengan implementasi putusan yang lemah, di Jerman beda lagi. Jorg Menzel dari Universitas Bonn mengeluh lamanya waktu penyelesaian perkara HAN di Jerman. Ia pun menceritakan contoh kasus yang sempat menyita perhatian dunia. The Mun case, sebutnya.

 

Seorang pemimpin gereja dari Korea dicekal masuk ke Jerman. Padahal, ia hanya ingin mengunjungi pengikutnya di Jerman. Pemerintah Jerman menganggap orang tersebut berbahaya karena ingin mendominasi dunia dengan Koreanisasi dan bahasa Korea. Kala itu, pemerintah Jerman mengatakan pada pengikut ajaran tersebut, bila keukeuh mau bertemu pemimpinnya, maka menemuinya ke Korea atau Amerika Serikat, tempat pemimpinnya bermukim, merupakan langkah yang tepat. Bukan menerimanya di Jerman.

 

Merasa dirugikan, pengikut ajaran tersebut pun mengajukan ke PTUN Jerman. Banyaknya, tingkatan dalam sistem PTUN Jerman, membuat perkara ini berlarut-larut. Butuh waktu 12 tahun, baru perkara ini kelar, ujarnya. Melihat proses berperkara HAN di Jerman, Jorg malah mengeluarkan sindiran kepada negaranya sendiri. Jadi kalau mau mengajukan gugatan PTUN di Jerman, lakukanlah sejak masa muda anda, sindirnya. Apalagi, putusan PTUN pada tingkat akhir di Jerman masih bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila ada unsur pelanggaran HAM dalam perkara yang disengketakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: