Implikasi Dualisme Delik dalam UU PDP
Kolom

Implikasi Dualisme Delik dalam UU PDP

Dualisme delik yang ada di UU PDP ini diharapkan bisa dimuat penjelasan lebih lanjut mengenai apakah ketentuan pidananya termasuk delik biasa atau delik aduan.

Bacaan 4 Menit
Muhammad Ainin Niam. Foto: Istimewa
Muhammad Ainin Niam. Foto: Istimewa

Disahkannya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) merupakan salah bentuk tanggung jawab negara dalam rangka pemenuhan (to fullfil), penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara. Perlindungan data pribadi masuk dalam kategori HAM karena besar kemungkinan data pribadi ini disalahgunakan yang berujung pada kerugian bagi subjek data pribadi ini (Karp, 2020). 

Meningkatnya pengguna sistem elektronik dan media sosial menjadi salah satu indikator pembentukan undang-undang ini, ditambah dengan perilaku masyarakat Indonesia yang acuh terhadap kasus penyalahgunaan data pribadi, bahkan itu pun berlaku juga pada data pribadi milik mereka sendiri. Di Rusia misalnya, perlindungan data pribadi sudah diakomodir oleh negara sejak 1993, hal tersebut tercantum dalam Konstitusi Rusia di dalam paragraf 1 artikel 23 yang menyatakan “to privacy, to personal and family secrets, and to protection of one’s honor and good name” (Daniel and Byhovsky, 2016). 

Kekosongan hukum dalam perlindungan data pribadi yang cukup lama membuat masyarakat mengalami kekacauan dan kebingungan mengenai regulasi apa yang harus diterapkan dalam mengatasi penyalahgunaan data pribadi. Akhirnya karena lambatnya regulasi itu mengakibatkan suatu custom menjadi suatu hal yang lumrah. Hal ini menjadi tantangan dalam efektivitas regulasi UU PDP untuk menekan pelanggaran-pelanggaran data pribadi (Nasir, 2017).

Baca juga:

UU PDP memberikan batasan masyarakat khususnya kepada pengendali dan operator data pribadi untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalamnya. Walaupun badan hukum maupun badan usaha bisa memahami konteks dan substansi dalam undang-undang tersebut, hal ini bisa berbeda bagi masyarakat luas yang belum tahu ketentuan UU PDP tetapi menganggap pelanggaran PDP merupakan suatu hal yang lumrah. Masyarakat akan susah untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang revolutif. Kondisi ini akan memicu banyaknya masyarakat yang akan dipidana. Akses data pribadi yang mudah ditambah dengan perilaku pelanggaran yang dinormalisasi, mungkin akan membuat suatu dilema baru. 

Permasalahan utamanya ialah jenis atau kualifikasi delik dalam UU PDP ini memiliki dua bentuk. Ketentuan itu dapat diidentifikasi melalui nomenklatur yang terdapat pada pasal 60 mengenai kewenangan lembaga penyelenggara perlindungan data pribadi dalam huruf i dan j yang menjelaskan bahwa suatu lembaga berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan penelusuran atas pengaduan, laporan, dan hasil pengawasan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran perlindungan data pribadi. Nomenklatur tersebut secara tidak langsung memberikan ketentuan pidana yang memiliki kualifikasi ganda yakni delik aduan dan delik biasa. 

Menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum menjelaskan mengenai perbedaan pelaporan dan pengaduan, jika delik biasa maka laporan tidak termasuk syarat penuntutan, berbeda dengan delik aduan yang mana aduan ini menjadi syarat penuntutan. Selain itu perbedaan mendasar dari kedua delik ini adalah jika delik biasa semua orang berhak melapor walaupun tindakan pelaku tidak merugikannya, dan ketika pelapor mencabut laporannya, penyidik akan tetap mendalami kasus tersebut. Sedangkan delik aduan, hak pengaduan hanya diberikan kepada korban. Apabila aduannya dicabut maka kasus tersebut juga tidak bisa ditindaklanjuti.

Tags:

Berita Terkait