Indonesia, Antara Post Democracy dan Mengarah Otoritarianisme
Utama

Indonesia, Antara Post Democracy dan Mengarah Otoritarianisme

LBH Jakarta menganggap beberapa kebijakan pemerintahan Joko Widodo dinilai mengancam kehidupan demokrasi, bertolak belakang dengan konstitusi, dan HAM. Rakyat terus mengalami penindasan, sementara oligarki mendapat keistimewaan.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Mengutip pernyataan Sosiolog Amerika Serikat, Larry Diamond, Damar menyebut Indonesia termasuk negara yang rentan mengalami kegagalan demokrasi. Selain itu, indeks demokrasi Indonesia semakin turun sejak 2016 dimana Indonesia menempati urutan 48 dari 167 negara. Tahun 2018 merosot ke peringkat 64 dan tahun 2020 posisi indeks demokrasi Indonesia masih rendah, berada di peringkat 61.

Damar melihat sempitnya ruang demokrasi dan kebebasan sipil itu juga menyasar ranah digital atau daring. Selama ini ranah digital dianggap menjadi bagian yang tak terpisah dari proses demokrasi karena disitu masyarakat dapat berekspresi dan menyampaikan pemikirannya kepada publik.

Tapi, belakangan ranah ruang digital/daring digunakan juga sebagai sarana represi, misalnya dengan cara memberikan disinformasi atau hoax untuk menyerang percakapan di media sosial. Dia memberi contoh dalam kasus penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, beredar hoax yang menyebut Buya Syafii Maarif mendukung RUU Cipta Kerja.

Kemudian ada tagar dan influencer yang digunakan untuk mendukung RUU Cipta Kerja. Tak hanya itu, Damar melihat UU ITE digunakan untuk menjerat masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya Surat Telegram Kapolri No.STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020.

Isinya memerintahkan melakukan cyber patroli pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19; melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Alhasil, jumlah kasus jerat pemidanaan menggunakan UU ITE meningkat pada tahun 2020 yang mencapai 59 kasus.

“Ini menandakan hukum semakin kuat menangkap masyarakat yang berpandangan kritis,” kata Damar

Bentuk serangan lain yang dialami warga di ranah digital yakni serangan siber terarah dengan target kelompok berisiko seperti jurnalis, pembela HAM, dan akademisi. Damar mencatat masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja mengalami doxing atau data pribadinya disebar. Kemudian peretasan yang dialami juga kelompok masyarakat sipil seperti AMAN, Walhi, dan ICW.

Tantangan tersendiri

Di sisi lain, pandemi Covid-19 memberikan tantangan tersendiri bagi kerja-kerja LBH Jakarta dalam memberikan bantuan hukum. Arif membeberkan akibat Covid-19 pelayanan LBH Jakarta seperti konsultasi beralih dari pertemuan langsung (offline) menjadi daring (online). Perubahan mekanisme pelayanan ini membuat jumlah pengaduan menurun 36 persen dibanding tahun 2019 (1.496 pengaduan).

Tags:

Berita Terkait