Indonesia dan Konvensi Apostille
Kolom

Indonesia dan Konvensi Apostille

Terdapat sejumlah manfaat yang akan diperoleh oleh Indonesia apabila mengaksesi konvensi ini.

Bacaan 5 Menit

Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2021

Pada 5 Januari 2021, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM RI, telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa Indonesia telah mengaksesi bergabung dalam Konvensi Internasional tentang Apostille ini. Aksesi terhadap perjanjian internasional artinya negara tersebut mengikatkan diri pada  suatu perjanjian internasional. Hal ini dimaksudkan Perjanjian internasional tersebut menjadi hukum positif di Indonesia setelah perjanjian berlaku bagi Indonesia.

Beberapa manfaat yang akan diperoleh oleh Indonesia apabila mengaksesi konvensi ini antara lain, 1) Prosedur legalisasi menjadi lebih sederhana karena berdasarkan Apostille Convention hanya akan diperlukan satu tahap saja untuk melegalisasi dokumen publik yang berasal dari luar negeri; 2) Merupakan realisasi dari komitmen Indonesia untuk terus mendorong terciptanya pemerintahan yang terbuka dan transparan; 3) Meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan menghilangkan prosedur birokrasi yang kurang efisien; dan 4) Mendorong peningkatan investasi asing karena kemudahan yang didapat dalam prosedur legalisasi berbagai dokumen publik yang diperlukan dalam ranah investasi.

Ada beberapa bidang yang bersentuhan dengan penggunaan dokumen-dokumen asing/Luar Negeri di Indonesia, antara lain: di bidang Kesehatan, obat dan makanan, perdagangan waralaba, tata cara hubungan dan Kerjasama Luar negeri Pemerintah daerah, bidang peradilan, instansi-instansi terkait seperti: BKPM, kantor HAKI, Notaris dan pengacara.

Selama ini telah terdapat peraturan yang mengatur prosedur legalisasi di Indonesia, antara lain:

  1. Peraturan Menteri Luar Negeri No. 13 tahun 2019 tentang Tata Cara Legalisasi Dokumen (Pasal 4);
  2. Peraturan  Menteri Hukum dan HAM no. 19 tahun 2020 tentang Layanan Legalisasi Tanda Tangan Pejabat pada Dokumen di kementrian hukum dan HAM ( Pasal 4).

Kapan Mulai Berlakunya Konvensi Apostille bagi Indonesia?

Berlakunya suatu konvensi internasional yang telah di aksesi oleh suatu negara, tidak terjadi dengan serta merta. Ada beberapa Langkah yang perlu diperhatikan untuk berlakunya ke dalam masyarakat Indonesia, tergantung pada: 1) Kapan Indonesia akan mendepositkan instrument aksesi; 2) Apakah ada keberatan dari negara peserta konvensi lain terhadap Tindakan aksesi Indonesia terhadap konvensi (masa untuk keberatan anggota adalah 6 bulan sejak tanggal deposit); 3) Konvensi berlaku 60 hari sejak lewatnya masa keberatan negara anggota; 4) Jika ada keberatan, maka konvensi tidak berlaku untuk Indonesia dan negara-negara konvensi yang keberatan.

Langkah apa saja yang perlu dipersiapkan oleh Pemerintah Indonesia dengan keluarnya PP No. 2 tahun 2021?

Ada beberapa Langkah yang perlu dipersiapkan oleh Pemerintah RI, sehubungan dengan dikeluarkannya PP No. 2 tahun 2021 tentang Pengesahan terhadp konvensi Apostille, antara lain:

  1. Pemerintah harus mempersiapkan Hukum nasional untuk mengatur lebih lanjut tentang apa saja yang termasuk ke dalam ruang lingkup “Dokumen Publik” yang harus menggunakan cap apostille;
  2. Pemerintah RI wajib menghapuskan persyaratan legalisasi atas penggunaan Dokumen Publik Asing untuk Peraturan di dalam negeri (sebagai contoh adalah  seperti yang diatur di dalam Pasal 13 ayat (4) huruf C dari peraturan BPOM No. 26 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Sektor obat dan Makanan)
  3. Pemerintah RI harus menunjuk  Competent Authority /CA, yaitu instansi atau pihak yang diberikan kewenangan untuk menerbitkan “Apostille Certificate”, dalam  melakukan otentifikasi Dokumen Publik Asing yang akan digunakan di Indonesia.
  4. Pemerintah RI perlu mempersiapkan alat-alat perlengkapan negara, baik infrastruktur maupun SDM penunjang yang memahami permasalahan yang berhubungan dengan pengesahan konvensi apostile, dimana Hukum Perdata Internasional sebagai basic knowledge-nya.
  5. Perlunya pemahaman mengenai ilmu Hukum Perdata Internasional dari semua komponen bangsa dan negara yang berprofesi dan bersentuhan dengan bidang hukum, dapat tercapai apabila Perguruan Tinggi baik negari maupun swasta, menjadikan Hukum Perdata internasional sebagai mata kuliah wajib Fakultas Hukum dimanapun berada di wilayah negara Republik Indonesia yang tercinta ini.
  6. Yang tidak kalah pentingnya adalah kepada wakil-wakil rakyat yang ada di Senayan. Perlunya meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang Hukum Perdata internasional sebagai konsekwensi logis,  penunjang tugas penting sebagai wakil rakyat, terutama yang berada pada Komisi yang membidangi Hukum dan Badan Legoslasi  DPR RI.
  7. Pemerintah RI agar dapat Mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Hukum Perdata Internasional Indonesia, yang naskah akademiknya sudah ada sejak tahuun 1983 dan pada tahun 2014-2015 dikajikan lagi oleh BPHN RI. Saat ini pembahasan secara marathon tentang RUU- HPI Indonesia sedang dibahas antar instansi terkait dengan support dari asosiasi para akademisi  yang tergabung dalam Asosiasi Pemerhati dan Pengajar Hukum Perdata Inernasional (APPIHPI), yang diketuai oleh Dr. Bayu Seto, SH., LL.M., dari Universitas Parahyangan Bandung.

*)Dr. Mutiara Hikmah, Ketua Bidang Studi Hukum Internasional FHUI. Dosen untuk kelompok Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI. Ph.D Candidate of Unishams Malaysia for Islamic Banking and Finance Study.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait