Ingat! Aparat Penegak Hukum Tak Bisa Asal Pidanakan Pejabat PLN
Berita

Ingat! Aparat Penegak Hukum Tak Bisa Asal Pidanakan Pejabat PLN

Pasal 41 hingga Pasal 43 Perpres Nomor 4 Tahun 2016 mengatur perlindungan hukum terhadap pejabat PLN. Penegak Hukum mesti menunggu rekomendari dari APIP jika terjadi pidana.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Diskusi yang digelar ILUNI FHUI di Kantor PLN Pusat. Foto: RES
Diskusi yang digelar ILUNI FHUI di Kantor PLN Pusat. Foto: RES
Pemerintah memberi mandat kepada PT PLN (Persero) terkait dengan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW dan jaringan transmisi sepanjang 46.000 km dalam rangka peningkatan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik bagi rakyat. Sebagai bentuk dukungan, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Setidaknya ada sejumlah bentuk dukungan dari Pemerintah yang diberikan melalui Perpres tersebut.

Kepala Satuan Hukum Korporat PT PLN (Persero) Dedeng Hidayat mengatakan bahwa tugas yang diberikan kepada PT PLN untuk merealisasikan pembangunan listrik dan jaringan transmisi dalam jangka waktu lima tahun adalah tugas yang cukup berat. Namun, lanjut Dedeng, terbitnya Perpres ini begitu membantu terutama bagi PT PLN dalam merealisasikan program tersebut.

“Perpres ini adalah bentuk dukungan dari pemerintah kepada PLN dimana dukungan itu ada tujuh dukungan kepada PLN,” ujar Dedeng dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh ILUNI FHUI di Kantor PLN Pusat, Kamis (14/4).

Pertama, dukungan dalam hal penjaminan. Pemerintah memang menugaskan PT PLN  untuk menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Namun, terkait dengan pelaksanaanya sendiri, dapat dilakukan melalui dua cara, yakni swakelola dan kerja sama penyediaan tenaga listrik. Jika dikerjakan secara swakelola, berarti PLN memiliki kemampuan pendanaan untuk ekuitas dan sumber pendanaan murah.

Selain itu, memiliki risiko konstruksi rendah, tersedianya pasokan bahan bakar, pembangkit pemikul beban puncak (peaker) yang berfungsi mengontrol keandalan operasi atau pengembangan sistem isolated. Sementara, jika dengan kerja sama penyediaan tenaga listrik, dapat dilakukan oleh anak perusahaan PT PLN dalam hal adanya kerja sama antara PT PLN dengan Badan Usaha Milik Negara Asing dan juga memiliki nilai yang strategis bagi PT PLN.

Selain itu, juga dapat dilakukan kerja sama dengan Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dalam hal risiko konstruksi yang besar terutama untuk lokasi baru yang membutuhkan proses pembebasan lahan. Kriteria lainnya, diberlakukan dalam hal membutuhkan pendanaan yang sangat besar, pembangkit dari sumber energi baru terbarukan, risiko pasokan bahan bakar yang cukup tinggi, serta terdapat beberapa PPL yang akan mengembangkan pembangkit di wilayah tertentu.

“Kalau dulu di balik. Begitu yang rendah dikasih ke swasta. Tapi sekarang yang risiko yang rendah dikasih ke PLN,” katanya.

Terkait dengan jaminannya sendiri, baik dikerjakan secara swakelola ataupun kerja sama penyediaan tenaga listrik sama-sama diberikan jaminan oleh Pemerintah. “Karena proyek 35.000 MW ini baik oleh PLN atau oleh anak perusahaan PLN atau PPL, kita diberikan jaminan oleh kementerian. Kalau PLN bisa jaminan langsung sementara untuk anak perusahaan dan PPL diberikan dalam bentuk jaminan kelayakan usaha,” katanya.

Kedua, dukungan dalam percepatan perizinan dan nonperizinan. PT PLN, anak perusahaan PT PLN, serta PPL dapat mengajukan penyelesaian perizinan melalui PTSP di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Baik itu, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (UPTL), Penetapan Lokasi, Izin Lingkungan, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dapat dilakukan terpusat di BKPM. “Sekarang kita sudah ada PTSP melalui BKPM hanya tiga hari,” katanya.

Ketiga, dukungan dalam penyediaan energi primer. Pada prinsipnya, pelaksanaan PIK mesti mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Dalam Perpres, pemerintah pusat atau pemerintah daerah dapat memberikan dukungan berupa pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan dan nonperizinan, penetapan harga beli tenaga listrik dari sumber energi baru dan terbarukan, pembentukan badan usaha tersendiri untuk penyediaan tenaga listrik, serta penyediaan subsidi.

“Tidak ada alasan lagi kalau proyek itu tidak berjalan karena alasan tidak ada pasokan energi primer,” ujar Alumni FHUI angkatan tahun 1986 itu.

Keempat, dukungan tata ruang. Pelaksanaan PIK dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detil Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisi dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam hal ada perubahan, baik PT PLN, anak perusahaan PT PLN dan PPL dapat mengajukan usulan perubahan kepada kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan. “Kalau koordinatnya sudah ditentukan dan tidak bisa diubah. Maka yang mengalah adalah peraturan perundang-undangan tentang tata ruang. Tapi diusulkan dulu oleh PLN,” katanya.

Kelima, dukungan penyediaan tanah. Baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah mendukung proses pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ketika pemegang hak atas tanah yang luasnya tidak lebih dari lima hektar tidak sepakat dengan besaran hasil penilaian jasa penilai, maka PT PLN dan anak perusahaannya serta PPL dapat menetapkan nilai jual beli atau tukar menukan sesuai kesepkatakan kedua belah pihak dengan skema analisis manfaat dan biaya (cost and benefit analysis).

Selain itu, ketika penyediaan tanah tidak dapat dilakukan pengadaannya, maka dapat dilakukan sewa, pinjam pakai, atau kersama dengan pemegang hak atas tanah. “Terus terang dukungan ini sangat-sangat menjadi yang penting. Proyek PLN banyak terkendala masalah tanah. Pembebasan tanah saat lelang sudah jalan, tidak sesuai waktu yang ditetapkan. Sehingga saat kontrak efektif, tanahnya belum siap sehingga terjadi case dimana-mana,” paparnya.

Keenam, dukungan penyelesaian hambatan dan permasalahan. Pimpinan PT PLN, anak perusahaan PT PLN, atau Pimpinan PPL diwajibkan mengambil langkah dalam penyelesaian hambatan dalam percepatan pelaksaan PIK sesuai dengan kewenangannya. Seperti misalnya, PLN dapat meminta BPKP untuk menghitung besaran tambahan biaya dalam hal penyelesaian pelaksanaan kontrak yang terkendala. “Untuk selesaikan hambatan dalam proyek. Bisa lakukan Diskresi namun tetap mengacu ke UU 30 Tahun 2014,” katanya.

Ketujuh, dukungan penyelesaian hukum yang dihadapi. Dari catatan Dedeng, setidaknya telah ada sekitar 29 pejabat PT PLN mulai dari tingkatan General Manager hingga Manager senior lapis kedua yang tersandung permasalahan hukum ketika bertugas. Akibatnya, cukup banyak pejabat pengambil kebijakan di PT PLN yang ketakutan dalam mengambil kebijakan. Saat ini, dengan terbitnya Perpres itu pejabat PLN yang sedang mengemban tugas untuk pelaksanaan proyek ini mendapat perlindungan.

“Kita pernah alami kriminalisasi. Itu beri keragu-raguan sehingga tidak berani ambil keputusan sehingga proyek-proyek terhambat,” kata Dedeng.

Setidaknya ada tiga pasal dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2016, yakni Pasal 41 hingga Pasal 43 yang mengatur bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan. Dimana apabila terdapat permasalahan hukum, penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal pengaduan terkait dengan kewenangan administrasi pemerintahan, pimpinan PT PLN atau anak perusahaan PLN meneruskan dan menyampaikan kepada Menteri ESDM selaku Pembina teknis dan Menteri BUMN selaku Pembina korporasi dan manajeman penyelenggaraan PIK.

Selain itu, dalam hal pengaduan masyarakat terkait penyimpangan PIK kepada Kejaksaan dan Kepolisian, penyelesaian dengan mendahulukan proses administrasi sesuai ketentuan. Pengaduan masyarakat terkait penyimpangan PIK kepada Kejaksaan dan Kepolisian itu diteruskan kepada Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Selanjutnya, Menteri ESDM dan Menteri BUMN melakukan pemeriksaan dan tindak lanjut atas pengaduan masyarakt paling lama lima hari sejak diterimanya pengaduan.

Apabila ditemukan indikasi, menteri meminta aparat pengawas internal perusahaan (APIP) melakukan pemeriksaan dalam waktu 30 hari kerja. Umumnya, hasil pemeriksaan APIP berupa tiga hal. Satu, kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara. Terhadap kesalahan itu, dalam waktu paling lama 10 hari kerja wajib dilakukan penyempurnaan administrasi. Dua, kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Terhadap kesalahan itu, paling lambat 10 hari kerja wajib dilakukan penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian keuangan negara tersebut.

Terhadap hasil tersebut, wajib disampaikan kepada pihak Kejaksaan dan Kepolisian dalam waktu lima hari kerja. “Dalam perpres ini diberikan satu perlindungan. Buat BUMN lain bisa jadi rujukan bahwa dengan Perpres ini ada suatu permasalahan menyangkut hukum apabila ada laporan dari pihak luar, maka harus diselesaiakan terlebih dahulu secara korporasi. Artinya, apabila laporan itu masuk ke Kejaksaan atau Kepolisan, harus meneruskan terlebih dahulu ke Kementerian teknis di BUMN terkait koporasi. Dalam lima hari harus cek, apabila ada abuse of power maka ditunjuk APIP,” jelasnya

Tiga, tindak pidana yang bukan bersifat administratif. Terhadap kesalahan ini, wajib disampaikan kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam waktu paling lama lima hari kerja. “Tapi kalau dari awal sudah ada mens rea untuk merugikan negara, maka itu dilanjutkan ke proses pidana pada umumnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait