Ini Alasan Diperlukannya Kodifikasi UU Pemilu
Berita

Ini Alasan Diperlukannya Kodifikasi UU Pemilu

Tercatat ada 14 UU yang terkait Pemilu Eksekutif, Legislatif dan Kepala Daerah. Dari belasan UU itu sebagian ketentuan saling tumpang tindih. Guna membenahinya dibutuhkan satu UU Pemilu.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Mahkamah Konstitusi lewat putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 mengamanatkan pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) secara serentak pada 2019. Anggota Steering Committee Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu, Sulastio, menilai untuk menghadapi Pemilu Serentak 2019 pemerintah perlu melakukan kodifikasi terhadap sejumlah UU terkait Pemilu.

Sulastio mencatat ada 14 UU yang berkaitan dengan Pemilu Eksekutif, Legislatif dan Kepala Daerah. Sejumlah ketentuan yang tercantum dalam belasan UU tersebut ada yang saling bertentangan sehingga menimbulkan ketidakpastian. Guna membenahi berbagai persoalan yang ada, belasan UU itu harus dikodifikasi dalam satu UU Pemilu.

“Kami berkesimpulan harus ada satu UU Pemilu,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (18/5).

Ketua Perludem, Didik Supriyanto, berpendapat banyak persoalan jika Pemilu tidak dilaksanakan secara serentak. Misalnya, Pemilu Legislatif menghabiskan energi partai politik (Parpol) untuk mengatasi konflik yang terjadi di tingkat internal. Bermacam konflik internal parpol dipicu oleh masalah pencalonan.

Kemudian, Didik menilai pemilu yang tidak diselenggarakan secara serentak menghabiskan biaya yang besar. Ia mencatat, 65 persen biaya penyelenggaraan Pemilu habis untuk membayar upah petugas penyelenggara Pemilu. “Sebagai upaya membenahi persiapan itu, maka kami mendorong agar dilaksanakan pemilu serentak,” ujarnya.

Didik berharap Pemilu Serentak dibagi dua. Pertama, Pemilu Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD. Kedua, Pemilu Daerah untuk memilih Kepala Daerah dan DPRD. Dengan begitu, setiap lima tahun ada 2 kali Pemilu, yaitu Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Walau berbeda dengan putusan MK yang mengartikan Pemilu Serentak yaitu memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Didik menilai usulannya itu sesuai amanat konstitusi. Baginya, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masuk kategori rezim Pemilu, sehingga tidak ada persoalan jika penyelenggaraannya berbarengan dengan Pilpres dan Pileg.

Didik menghitung jika Pemilu dilakukan serentak, maka hal itu berpotensi menghemat anggaran Negara. Jika dibandingkan antara biaya Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, penghematannya mencapai Rp18 triliun atau Rp25 triliun.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, mendorong agar pemerintah segera menyiapkan kodifikasi UU Pemilu sebelum menyelenggarakan Pemilu Serentak 2019. Terhitung sampai 2019, pemerintah dan DPR punya waktu paling lama 3 tahun untuk membahas dan menerbitkan UU Pemilu. Diharapkan UU kodifikasi Pemilu itu diterbitkan 1 tahun sebelum Pemilu Serentak 2019 diselenggarakan, sehingga ada waktu yang cukup untuk mengantisipasi kelemahan yang mungkin muncul dalam UU Pemilu.

Salah satu isu yang jadi perdebatan terkait Pemilu Serentak adalah Pilkada, apakah masuk rezim Pemilu atau tidak. Pihak yang menganggap Pilkada bukan rezim Pemilu, biasanya berasumsi Pilkada tidak disebut eksplisit dalam pasal 22E UUD RI 1945. Pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD RI 1945 dengan rumusan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis.

Merujuk original intent penyusunan perubahan UUD 1945, Saldi mengatakan Pasal 18 ayat (4) dibentuk lebih dulu ketimbang pasal 22E. Ketika Pasal 18 ayat (4) dibahas, belum disepakati apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung atau tidak. Oleh karenanya, Pasal 18 ayat (4) masih mengandung frasa “dipilih secara demokratis.” Mengingat Pasal 6A UUD RI 1945 mengatur pemilihan Presiden dipilih secara langsung maka frasa “dipilih secara demokratis” itu dimaknai pemilihan langsung.

“Ini sebenarnya sudah tidak menjadi perdebatan lagi karena sekarang praktiknya kita melaksanakan pilkada langsung,” tegas Saldi.

Peneliti LIPI, Syamsuddin Harris, menekankan pemerintah untuk segera menyiapkan kodifikasi UU Pemilu guna menghadapi Pemilu Serentak pada 2019. Jika itu tidak disiapkan secara matang, ia khawatir pelaksanaan Pemilu Serentak tidak akan maksimal. Menurutnya, pemerintah harus aktif menginisiasi pembahasan kodifikasi UU Pemilu.

Pria yang disapa Harris itu menilai, Pemilu Serentak dibutuhkan karena selama ini Pemilu yang diselenggarakan belum mampu menghasilkan pemerintah dan pejabat publik yang berkualitas dan akuntabel. Itu terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik mulai dari jajaran eksekutif sampai legislatif di tingkat pusat dan daerah.

Pemilu Serentak bagi Harris penting dalam memperkuat sistem pemerintahan presidensiil. Selama ini, Pemilu dimulai dari Pileg sehingga Pilpres dianggap didikte hasil Pileg. Agar Pilpres tidak jadi subordinasi Pileg, penyelenggaraan Pemilu perlu disesuaikan dengan kebutuhan sistem presidensiil.

“Pemilu serentak di Indonesia itu harus memberi nilai tambah bukan hanya efisiensi waktu dan anggaran tapi juga efektifitas hasil pemilu. Saat ini kebutuhan mendesak kita menghasilkan pemerintahan yang efektif mulai dari pusat sampai daerah,” urai Harris.

Harris berpendapat, Pemilu Serentak untuk memilih lima lembaga atau “lima kotak”, sebagaimana putusan MK tidak mampu mendorong terciptanya pemerintahan hasil Pemilu yang efektif. Sebab putusan MK itu memisahkan Pilkada dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Mestinya, Pilkada diselenggarakan sebagai bagian Pemilu Daerah. Pelaksanaan Pemilu Serentak di daerah itu perlu digelar dua tahun setelah Pemilu Serentak Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR dan DPD.

Tags:

Berita Terkait