Ini Alasan MK Hapus Pembatasan Politik Dinasti
Berita

Ini Alasan MK Hapus Pembatasan Politik Dinasti

Salahkah fungsi pengawasan yang tidak jalan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Majelis MK. Foto: RES
Majelis MK. Foto: RES
Ketua MK Arief Hidayat mengklaim tidak ada yang salah dalam putusan uji materi Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) terkait pembatasan bakal calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah petahana atau politik dinasti.

Menurutnya, persoalan ini sebenarnya bukan pada aturan pembatasan itu, melainkan belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada khususnya yang melibatkan petahana. "Sebetulnya masalahnya bukan di situ (aturan, red), tetapi terletak pada pengawasannya," ujar Arief saat ditemui di gedung MK, Kamis (09/7) kemarin.

Arief beralasan negara manapun seperti Amerika yang menganut demokrasi modern berdasarkan atas hukum menghormati hak setiap warga negara untuk dipilih (right to be candidate). Hak untuk dipilih atau memilih dalam pemilihan (pilkada) hanya bisa melalui putusan pengadilan lewat hukuman tambahan (Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP). "Makanya, aturan itu kita batalkan karena inkonstitusional, melanggar hak konstitusional warga negara," dalihnya.

Ditegaskan Arief, persoalan ini sebenarnya terletak pada belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada terutama ketika pencalonan melibatkan keluarga petahana. "Apa yang harus diawasi agar petahana tidak menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya demi menguntungkan keluarga/kerabatnya dalam proses pilkada," lanjutnya.

Pengawasan bisa dilakukan, misalnya, ketika kebijakan pemerintah menentukan birokrasi harus netral dan dijalankan dengan baik, sehingga petahana tidak memanfaatkan birokrasi termasuk dukungan dari TNI/Polri demi memenangkan keluarga/kerabatnya. Selain itu, perlu mengawasi berbagai program yang dianggarkan dalam APBD ketika diarahkan mendukung atau menguntungkan pencalonan keluarga petahana. "Ini yang tidak boleh dan harus diawasi. Siapa yang mengawasi, DPRD saat penyusunan anggaran," kata Arief.

Menurutnya, model pengawasan dalam tataran teknis penyelenggaraan pilkada bisa dimulai dari tingkat bawah (TPS), kecamatan hingga tingkat kabupaten/kota. Misalnya, saksi dari partai politik bersama Panwas dan Bawaslu bisa mengawasi secara berjenjang. Hal ini dibutuhkan kesadaran hukum semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada termasuk media massa dan lembaga swadaya masyarakat. "Kalau itu (pengawasan) diefektifkan dan diefisienkan, saya kira petahana sudah tidak bisa apa-apa," dalihnya.

"Kalau sering dihubungkan petahana sering korupsi atau kolusi, yang salah bukan dinasti selalu korupsi, yang salah bukan sistem pemilihannya, tetapi yang lain (pengawasan). Yang korupsi kan juga banyak."

Karena itu, kata Arief, yang terpenting peran pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada perlu lebih dioptimalkan terutama bagi Bawaslu dan Panwaslu. Dia mengakui pembatasan hak bisa dibatasi dengan UU, tetapi pembatasan ini tidak boleh melanggar HAM atau hak konstitusional warga negara. "Kalau putusan ini menimbulkan pro dan kontra hal biasa karena masing-masing memandang dari perspektif yang berbeda-beda. Tentunya, ada partai yang setuju, ada yang tidak setuju," tambahnya.

Sebelumnya, melalui putusan bernomor 33/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan Adnan Purichta Ichsan, MK telah menghapus Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r UU Pilkada. Alasannya, ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945.   Mahkamah menganggap Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya mengandung muatan diskriminasi karena nyata-nyata memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan kelahiran dan status kekerabatan seseorang yang bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Diakui Mahkamah, tidak setiap pembedaan serta-merta dianggap diskriminasi. Namun, kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata mencegah kelompok orang tertentu (anggota keluarga kepala daerah petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya).  Pembatasan ini dianggap  tidak memenuhi syarat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Seseorang karena kelahirannya atau memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau kebebasan orang lain.

Selain Adnan, kedua ketentuan itu juga dimohonkan oleh Aji Sumarno (menantu Bupati Selayar Sulsel, Syahrir Wahab), Lanosin (adik kandung Bupati Petahana Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan), Ali Nurdin (Bakal Calon Bupati Pandeglang), Irwan Hamid (bakal calon Bupati Pinrang, Sulsel), serta pemohon lain.

Putusan ini memicu kritikan terutama dari sejumlah anggota DPR. Mereka menganggap putusan MK ini justru menimbulkan ketidakadilan bagi bakal calon kepala daerah di luar keluarga petahana. Sebab, kepala daerah petahan memiliki kemampuan sumber daya dan kekuasaan yang potensial menguntungkan pencalonan keluarga/kerabat petahana dalam ajang pilkada.
Tags:

Berita Terkait