Ini Alasan Perlunya UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi
Berita

Ini Alasan Perlunya UU Perlindungan Konsumen Segera Direvisi

Era digital membuka peluang terjadinya pelanggaran data pribadi konsumen hingga penipuan.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

“Jika RUU PDP disahkan, pengendali data wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis paling lambat 72 jam kepada pemilik data dan instansi pengawas jika terjadi data breach atau kegagalan perlindungan data pribadi menurut draft September 2019 (Pasal 40). Walaupun ukuran waktu ini menimbulkan kontroversi, namun konsep transparansi pada pelaporan sangat penting. Kerangka kebijakan saat ini mempunyai tenggat waktu 14 hari, dan melonggarkan kemungkinan lebih berisiko akibat kebocoran data,” terang Dina.

Selain memaksimalkan upaya untuk melindungi data pribadi, untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital, Dina merekomendasikan beberapa hal. Pertama, pemerintah harus berupaya meningkatkan penyediaan dan inklusi telekomunikasi dan internet, yang didukung upaya peningkatan literasi sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen. Revisi UU PK, legislasi RUU PDP, dan pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber harus segera dilakukan.

Kedua, pemerintah harus melakukan reformasi institusi di bidang ekonomi digital dan perlindungan konsumen, di mana hal ini bertujuan agar interpretasi dan penegakan hukum lebih terkoordinasi antara Kementerian/Lembaga. Hal ini dapat dilakukan melalui saluran yang sudah ada, seperti Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (Stranas-PK) yang tengah dirancang untuk tahun 2020-2024 dan Forum Perlindungan Konsumen (Forum-PK). Selain itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga sedang menyusun Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital yang diharapkan membawa reformasi dan harmonisasi institusional di bidang ini. 

Pelanggaran konsumen sektor digital juga menjadi perhatian dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Terlebih lagi pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir setahun semakin meningkatkan pengaduan konsumen yang muncul saat pandemi seperti mahalnya harga masker, hand sanitizer, hingga lonjakan tagihan listrik rumah tangga saat pandemi.

YLKI mencatat pengaduan konsumen mencapai 3.692 kasus selama 2020. Jumlah tersebut meningkat pesat dibandingkan 2019 yang mencapai 1.872 pengaduan. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan permasalahan baru konsumen bermunculan pandemi Covid-19. Permasalahan konsumen seperti alat kesehatan dan obat-obatan, tagihan listrik, jaringan internet hingga belanja daring atau online meningkat signifikan dibanding kondisi normal.

YLKI mencatat pengaduan terbesar masih sama dibandingkan periode sebelumnya. Terdapat lima terbesar pengaduan konsumen yaitu sektor jasa keuangan 33,5 persen, belanja online 12,7 persen, telekomunikasi 8,3 persen, kelistrikan 8,2 persen dan perumahan 5,7 persen.

“Selama 2020 menerima 3.692 kasus pengaduan, sepanjang tahun itu meningkat ada pengaduan kelompok dan individual. Harus dicermati, selama satu tahun karakter pengaduan masih sama dalam lima-tujuh tahun terakhir,” jelas Tulus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait