Ini Catatan Anggota Komisi Hukum DPR Terkait Perppu Kebiri
Berita

Ini Catatan Anggota Komisi Hukum DPR Terkait Perppu Kebiri

Bila dianggap kurang sempurna, dapat disempurnakan melalui revisi undang-undang perlindungan anak.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Resmi sudah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Alasan darurat memaksa presiden menjadikan Perppu tersebut sebagai pengatur sanksi pemberatan hukaman, mulai kebiri hingga hukuman mati.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengomentari soal pemberatan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual dalam keadaan tertentu. Misalnya, pelaku lebih dari 1 orang. Kemudian, pelaku terkait dengan anak seperti orang tua, wali sebagai pendidik.  “Dan dalam Perppu selain pemberatan juga mendukung pemidanaan baru yaitu kebiri,” ujarnya.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) tempatnya bernaung di parlemen menyetujui dengan terbitnya Perppu tersebut. Tujuannya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak dari bahaya kejahatan seksual. Setidaknya mesti menimbulkan efek jera. Namun begitu, Arsul memberikan catatan.

Pertama, pemerintah mesti menjelaskan terkait pidana kebiri kepada DPR. Setidaknya, penjelasan implementasi pemidanaan kebiri. Konsep pemidanaan kebiri pun masih menjadi perdebatan. Kedua, Perppu harus mendapat persetujuan DPR. Namun, bila dinilai masih terdapat kekurangan dalam Perppu, maka dapat disempurnakan melalui Revisi UU Perlindungan Anak.

“Kan Perppu itu merupakan revisi UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” katanya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berpendapat, yang tak kalah penting Perppu tersebut mestinya mencakup adanya tindakan pencegahan masif. “Perppu harusnya mencakup adanya tindakan pencegahan masif karena produksi gambar dan produk pornografi masuk ke dalam setiap orang melalui hand phone dan itu dapat merusak otaknya,” ujar Fahri.

Fahri memahami keputusan presiden menerbitkan Perppu tersebut. Namun Fahri berpandangan sanksi kebiri hakikatnya hanya membunuh satu alat kelamin. Padahal riset modern menyatakan alat kelamin yang paling besar terletak di otak. “Jadi yang harus kita bunuh agar masyarakat tidak salah tingkah terhadap seks itu adalah menyembuhkan otak manusia,” ujarnya.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas secara substansi menyetujui Perppu tersebut. Hanya saja menjadi persoalan terkait sanksi kebiri. Menurutnya, masih terjadi perdebatan beberapa anggota dewan ketika berdiskusi soal sanksi kebiri. Persoalannya, implementasi sanksi kebiri berlaku permanen atau termporer. “Tapi kan ini kebiri kimia tidak permanen,” ujarnya.

Terlepas Kalangan pegiat hak asasi manusia menolak hukuman mati dan kebiri, ancaman kejahatan seksual terhadap anak sudah menghantui di depan mata. Oleh sebab itu, kondisi darurat oleh pemerintah sudah tepat. Kendati demikian, substansi Perppu bakal dipelajari oleh DPR untuk kemudian memberikan persetujuan menjadi UU atau sebaliknya menolak Perppu tersebut.

Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra itu sependapat dengan pemerintah terkait dengan semangat pemberantasan terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Meski belum mengatur menyeluruh, namun Perppu tetap dibutuhkan kekinian dalam mengatasi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak, termasuk memulihkan hak korban.

Tags:

Berita Terkait