Ini Penyebab Kinerja Legislasi DPR Anjlok di 2015
Berita

Ini Penyebab Kinerja Legislasi DPR Anjlok di 2015

Beberapa temuan PSHK mengkonfirmasi adanya sejumlah kemunduran akibat ketidakpatuhan terhadap syarat prosedur sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Kinerja DPR dalam bidang legislasi sepanjang tahun 2015 jauh panggang dari api. Harapan menggebu di awal, tak sesuai kenyataan di penghujung tahun pertama.  Puluhan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) hanya hisapan jempol belaka.

Publik memang menagih janji DPR dalam bidang legislasi. Namun terlepas dari itu, ada  sejumlah penyebab terpuruk dan anjloknya kinerja DPR dalam bidang legislasi tersebut.

Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Selasa (5/1), Direktur Monitoring, Evaluasi, dan Penguatan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, mengatakan lembaganya menemukan beberapa temuan akibat kemunduran kinerja DPR dalam bidang legislasi. Mulai dari ketidakpatuhan terhadap syarat prosedur sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hingga minimnya anggota dewan hadir dalam pembahasan RUU.

Sebagai catatan, sepanjang satu tahun bekerja di tahun 2015, DPR hanya mampu menghasilkan satu RUU, yakni RUU Penjaminan yang disetujui menjadi UU di penghujung tahun. Itu pun di luar pengesahan jenis RUU kumulatif terbuka seperti penetapan Perppu, APBN, dan pengesahan perjanjian internasional.

“Beberapa temuan PSHK mengkonfirmasi adanya sejumlah kemunduran akibat ketidakpatuhan terhadap syarat prosedur sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hingga absennya politik legislasi,” ujar Ronald.

Pertama, ketidakpatuhan syarat RUU Prioritas. Menurutnya, syarat naskah akademik dan naskah RUU bagi setiap pengusul tidak dipenuhi sejak awal oleh DPR, DPD dan presiden. Misalnya, RUU Penyandang Disabilitas yang diusulkan oleh DPR, setidaknya naskah akademik belum rampung diselesaikan.

Sementara dari pemerintah, hingga akhir Agustus 2015 hanya empat RUU yang layangkan ke DPR dari jumlah sebelas yang diusulkan. Tak jauh berbeda, DPD meski mengusulkan satu RUU, namun disampaikan ke DPR dan presiden di awal Agustus 2015.

“Jelas sudah alasan mengapa kinerja Prolegnas khususnya prioritas tahunan keteteran. Syarat untuk sebuah RUU diprioritaskan tidak konsekuen dipenuhi sejak awal. Bahkan yang terjadi adalah kelambanan,” ujarnya.

Kedua, jadwal pembahasan Prolegnas Prioritas telat dan tak konsisten. Ronald berpandangan imbas perseteruan dua kekuatan kelompok politik yang menamakan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berdampak molornya penyusunan Prolegnas 2015-2019 dan Prioritas 2015. Bila penjadwalan Prolegnas dilakukan di minggu kedua Desember di tahun sebelumnya, akibat konflik KMP-KIH Prolegnas disusun pada Februari 2015.

Tak hanya itu, penetapan Prolegnas Prioritas 2016 yang dilakukan DPR dan presiden tidak sesuai dengan Pasal 20 ayat (5) UU No.12 Tahun 2011. Dengan kata lain, penetapan Prolegnas Prioritas 2016 dilakukan setelah DPR dan presiden mestinya dilakukan sebelum penetapan RUU tentang APBN 2016. Faktanya, hingga RUU APBN 2016 disahkan pada Jumat (30/10/15), DPR dan presiden belum menetapkan Prolegnas Prioritas 2016.

Ketiga, Prolegnas minim politik legislasi. PSHK, kata Ronald, menemukan sejumlah RUU  yang menunjukan politik legislasi. Yakni berupa ketentuan pembentukan lembaga/badan baru. Misalnya, RUU Tabungan Perumahan Rakyat dengan nama lembaga yang akan dibentuk bernama Komite Tabungan Perumahan Rakyat dan Badan Pengelola Tabunga Perumahan Rakyat. Kemudian RUU Jasa Konstruksi dengan badan yang akan dibentuk bernama Badan Sertifikasi dan Registrasi Jasa Konstruksi.

Selanjutnya, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dengan lembaga yang akan dibentuk yakni Lembaga/badan yang menangani Komoditas Perikanan dan/atau Komoditas Pergaraman. Selain itu RUU Penyandang Disabilitas dengan Komisi Nasional Disabilitas. Kemudian RUU Sistem Pebukuan dengan Dewan Perbukuan dan RUU Kebudayaan dengan Dewan Budaya Nasional.

“Hampir sebagian besar pembahasan RUU mengalami kemacetan hingga deadlock disebabkan persoalan kelembagaan atau dengan kata lain materi RUU awalnya sempat memandatkan adanya pembentukan lembaga/badan baru,” katanya.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Subagyo mengatakan minimnya legislasi yang dihasilkan bukan semata dibebankan kepada DPR semata. Pembahasan RUU dilakukan antara DPR,  pemerintah dan DPD. Namun Firman mengakui, RUU yang diusulkan oleh komisi-komisi di DPR dan pemerintah tanpa dibarengi oleh kesiapan naskah akademik dan draf RUU.

“Terjadi inkonsistensi dari DPR, pemerintah dan DPD, setelah kita ketuk palu, yang namanya RUU harus siap naskah akademik dan draf RUU. Faktanya tidak siap,” ujarnya.

Anggota Komisi IV itu mengatakan Baleg tak lagi memiliki otoritas melakukan pembahasan RUU. Makanya pembahasan RUU menjadi kewenangan komisi dengan pemerintah. Menurutnya kritik dalam bidang legislasi tak melulu menjadi beban pekerjaan rumah DPR, tetapi juga pemerintah.

“Kalau konsisten, Prolegnas bisa tercapai, jadi tergantung nawaitunya,” pungkas politisi Partai Golkar itu.
Tags:

Berita Terkait